Banda Aceh (Waspada Aceh) – Sejumlah aktivis menilai draf Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2025–2029 belum berpihak pada kelompok rentan dan minoritas.
Dokumen ini dinilai lemah dalam mengakomodasi isu kesetaraan gender, kebebasan beragama, serta perlindungan lingkungan.
Dalam temu media Koalisi NGO HAM Aceh, Jumat (4/7/2025), Direktur Khairil menyebut banyak kekosongan substansi dalam draf RPJMA. “Perempuan, anak, penyandang disabilitas, hingga minoritas agama belum mendapat ruang yang memadai,” ujarnya.
Hasil kajian koalisi menunjukkan, RPJMA belum sejalan dengan RPJMN 2025–2029 yang telah mengarusutamakan pendekatan GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion).
Rancangan awal RPJMA yang semestinya bisa dikritisi publik, tidak tersedia secara daring maupun cetak. Tanpa keterbukaan, partisipasi masyarakat hanya sebatas jargon.
“Ini bertentangan dengan hak atas informasi publik. Bagaimana masyarakat bisa terlibat, kalau dokumennya pun tak bisa diakses?” kata Abdullah Abdul Muthalib dari tim penyusun policy brief.
Salah satu penyusun lainnya, Yogi Febriandi, menyebut Isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dinilai nyaris tak terdengar dalam draf Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA).
“Kalau kita lihat, isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) hampir tidak terdengar. Mungkin dianggap sensitif, tapi itu kenyataan yang harus diakui,” ujar Yogi.
Tidak ditemukannya kata kunci seperti toleransi, keberagaman, dan penghormatan budaya dalam dokumen. “Fokusnya hanya pada penguatan syariat, seperti pembangunan masjid dan bantuan untuk ulama. Rumah ibadah agama lain bahkan tidak disebut sama sekali,” katanya.
Padahal menurut BPS, sekitar dua persen warga Aceh menganut agama non-Islam. Namun keberadaan mereka nyaris tak tercermin dalam rencana pembangunan daerah ini.
“Misalnya, kita bisa menunjukkan bahwa memperkuat kehidupan KBB di Aceh adalah bagian dari misi membangun kehidupan yang damai dan bermartabat.
Tapi sekali lagi, hal itu tidak muncul dalam RPJMA. Kita butuh penguatan lebih nyata,” tuturnya
Direktur Flower Aceh, Riswati, menambahkan bahwa meski pendekatan GEDSI sudah mulai disebut, implementasinya masih lemah.
“Kalau konteks perempuan, perdamaian, dan keamanan tidak masuk secara jelas dalam RPJMA, maka kita akan mengulangi kekosongan masa lalu. Isu ini bukan tambahan, tapi bagian inti dari pembangunan berkelanjutan. Sistem data berbasis gender, partisipasi politik perempuan, dan perlindungan penyintas harus dijadikan indikator prioritas,” ujar Riswati.
Khairil mrnambahkan juga menambahkan abainya isu lingkungan, seperti alih fungsi hutan dan tambang ilegal.
“Tanpa perlindungan lingkungan yang kuat, pembangunan justru bisa jadi bumerang,” ucap Khairil.
Pihaknya mendorong agar dokumen RPJMA disusun sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 5 (kesetaraan gender), poin 13 (aksi iklim), dan poin 16 (perdamaian dan keadilan).
“Selama ini suara perempuan, minoritas agama, dan penyandang disabilitas masih samar dalam kebijakan. Jangan sampai mereka kembali dilupakan dalam lima tahun ke depan,” katanya.
RPJMA akan menjadi arah pembangunan Aceh hingga 2029. Karena itu, partisipasi publik dan transparansi dinilai menjadi kunci agar dokumen ini benar-benar inklusif.
Koalisi NGO HAM Aceh menegaskan akan terus mengawal proses penyusunan dan finalisasi RPJMA, agar tetap berpijak pada prinsip-prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender, perlindungan lingkungan, serta pengakuan atas keberagaman dan hak asasi manusia. (*)