Banda Aceh (Waspada Aceh) – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyesalkan penetapan tapal batas Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara dilakukan sepihak tanpa melibatkan lembaga legislatif tersebut.
Ketua Komisi I DPRA Tgk Muhammad Yunus M Yusuf di Banda Aceh, Kamis (17/6/2020), mengatakan penetapan tapal batas secara sepihak tanpa melibatkan DPRA dikhawatirkan memunculkan persoalan baru.
“Kami menilai, penetapan tapal batas Aceh dengan Sumatera Utara ini tanpa melibatkan DPRA merupakan kekeliruan. Karena itu, kekeliruan tersebut harus diluruskan kembali,” kata Tgk Muhammad Yunus M Yusuf.
Tgk Muhammad Yunus M Yusuf menyebutkan penetapan tapal batas secara sepihak tersebut merupakan pengabaian nota perdamaian MoU Helsinki. MoU Helsinki tersebut merupakan dasar lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Oleh karena, Komisi I DPRA meminta Pemerintah Aceh mengonfirmasi kembali penetapan tapal batas tersebut. Termasuk mengoordinasikan soal batas Aceh dan Sumatera Utara dengan para juru runding, baik dari GAM maupun RI.
“Ini penting agar segala keputusan diputuskan secara bersama-sama, tidak sepihak seperti penetapan tapal batas dengan Sumatera Utara,” kata Tgk Muhammad Yunus M Yusuf.
Asisten Pemerintahan Keistimewaan Sekretariat Daerah Aceh M Jafar mengatakan persoalan tapal batas Aceh dengan Sumatera Utara sudah dibahas sejak 1988. Namun, tidak ada dokumen detail menyangkut batas wilayah tersebut..
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh tidak menyebutkan secara detail batas wilayah Aceh. Akan tetapi, hanya menyebutkan batas wilayah Aceh merujuk pada keputusan 1 Juli 1956.
“Kami bekerja sama dengan Universitas Syiah Kuala mencari dokumen batas 1 Juli 1957, tetapi hingga kini tidak. Sebagai acuan, akhirnya tapal batas menggunakan peta topografi dari TNI AD yang berdasarkan dari peta semasa Belanda,” kata M Jafar.
M Jafar mengatakan peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan produk hukum yang dalam perkembangannya nanti ada yang tidak sesuai, bisa direvisi.
“Revisi bisa dilakukan langsung Menteri Dalam Negeri, bisa juga melalui keputusan Mahkamah Agung. Jadi, peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut bukanlah sesuatu yang final, walau sudah berlaku,” kata M Jafar.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri menerbitkan sembilan peraturan terkait batas wilayah Aceh dengan Sumatera Utara. Terbitnya peraturan, mengakhiri persoalan batas wilayah yang berlangsung sejak 1988.
Adapun sembilan peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur tapal batas Aceh dengan Sumatera Utara, yakni tentang wilayah Kabupaten Gayo Lues dengan Kabupaten Langkat
Kemudian, Kabupaten Aceh Tenggara dengan Kabupaten Karo. Kabupaten Aceh Singkil dengan Kabupaten Tapanuli Tengah. Kota Subulussalam dengan Kabupaten Dairi.
Berikutnya Kabupaten Aceh Tenggara dengan Kabupaten Dairi, Kabupaten Aceh Tenggara dengan Kabupaten Langkat, Kota Subulussalam dengan Kabupaten Pakpak Bharat, serta Kabupaten Aceh Singkil dengan Kabupaten Pakpak Bharat. (Ria-H)