DP3A Aceh mengapresiasi keberanian korban dan keluarga, lingkungan dan gampong melaporkan kekerasan terhadap anak.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh bahwa kasus kekerasan terhadap anak di Aceh terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2020 angka kekerasan terhadap anak di Aceh berjumlah 485 kasus. Pada tahun 2021 sebanyak 468 kasus dan tahun 2022 sebanyak 571 kasus. Artinya dalam kurun waktu satu tahun kasus kekerasan terhadap anak meningkat sebanyak 103 kasus.
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di Aceh beragam mulai dari kekerasan psikis, kekerasan fisik, pelecehan seksual, seksual inces, sodomi, trafficking, penelantaran, eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual, KDRT hingga pemerkosaan.
Dari bentuk-bentuk kekerasan tersebut, paling mendominasi di angka pelecehan seksual terhadap anak. Pada tahun 2022, angka pelecehan terhadap anak mencapai 150 kasus. Jumlah ini paling mendominasi dibandingkan bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Meutia Juliana, miris melihat tingginya angka kekerasan terhadap anak, terutama bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap anak adalah pelecehan seksual.
Namun, di satu sisi DP3A Aceh juga mengapresiasi keberanian korban dan keluarga, lingkungan dan gampong untuk bisa melaporkan kejadian itu kepada pihak yang berwajib. Kata dia, jarang korban dan keluarga berani melaporkan peristiwa tersebut karena dianggap akan merusak citra keluarga.
“Karena sebagian besar merasa itu adalah aib, apalagi dilakukan oleh orang terdekat,” sebutnya.
Dia juga sangat menyayangkan apabila kekerasan terhadap anak terutama pelecehan seksual dilakukan oleh orang terdekat seperti ayah, paman atau kakeknya. Menurutnya, pelaku orang terdekat ini seharusnya menjadi orang pertama yang melindungi justru mereka menjadi pelaku.
“Sangat kita sayangkan hal seperti ini,” tuturnya.
DP3A Harap Hukum Berat Pelaku Kekerasan Anak
Menurut Meutia, hukuman yang diberikan terhadap pelaku belum memberikan efek jera sehingga angka kekerasan terhadap anak setiap tahunnya mengalami peningkatan. Karena itu, DP3A Aceh berharap agar pelaku dihukum dengan seberat-beratnya.
“Kami berharap apabila mereka terbukti adalah pelakunya bisa dihukum dengan seberat-beratnya atau diberikan hukuman maksimum. Dengan begitu, bisa menjadi contoh dan pembelajaran bagi yang lain,” jelasnya.
Dia juga menyebutkan bahwa pelaku kekerasan terhadap anak kerap orang yang punya penghasilan rendah dan berpendidikan rendah, sehingga tidak memahami bahwa itu merupakan tindak pidana.
“Bahkan mereka merasa hal tersebut sepele dan tidak perlu ditindak lanjuti, apalagi terhadap keluarga terdekat,” jelasnya.
Selain itu, pelecehan yang dilakukan terhadap anak, oleh keluarga terdekat bukan pada keluarga yang utuh melainkan keluarga yang sudah terpisah atau keluarga yang broken home.
Beri Pendampingan
DP3A Aceh, kata Meutia, ada program pendampingan dan penanganan terhadap korban kekerasan. Nantinya kata Meutia akan dilihat, apakah korban baiknya dikembalikan ke keluarga yang memberikan perlindungan atau memang dikembalikan ke negara.
“Hasil asesment itu yang akan menentukan si anak baiknya dikembalikan kemana dan itu akan kita dampingi sampai dengan si anak pulih kembali dan bisa menjalani hidupnya kembali,” tegasnya.
Dia menegaskan, DP3A hanya bertugas memberikan penanganan terhadap korban, namun terkait rehab pihaknya bekerjasama dengan Dinas Sosial (Dinsos) Aceh maupun Dinsos Kabupaten/Kota. Nantinya, Dinas Sosial yang akan mengasesment keluarga mana yang bisa melindungi si anak dan memberikan pendidikan dan juga nafkah bagi si anak.
“Kita tidak sembarangan juga mengembalikan ke keluarganya. Namun sebaik-baiknya perlindungan adalah pada keluarga,” tutupnya.
Darwati Sorot Tinginya Kekerasan Terhadap Anak
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Darwati A Gani, dalam satu kesempatan mengatakan, dia miris melihat kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak di Aceh. Dari tahun ke tahun, kata Darwati, angkanya semakin bertambah.
“Saya miris melihat kasus kekerasan dan pelecehan anak yang terjadi di Aceh. Semakin hari semakin bertambah kasus kekerasan terhadap anak, juga pelecehan seksual,” sebutnya.
Karena itu, ke depannya, dia berharap dalam putusan hakim, anak-anak harus mendapat hak restitusi (ganti kerugian).
Terhadap pelaku, kata Darwati, ia meminta jaksa menuntut para terdakwa dengan hukuman maksimal. Majelis hakim pun ia harapkan menjatuhkan hukuman maksimal pula.
Sementara Anggota DPRA, Fuadri, berharap kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak tidak diberi kelonggaran hukum. Pelaku jangan sampai menganggap ringan perkara tersebut.
“Karena kalau hanya dihukum cambuk, pelaku tidak jera. Kalau bisa dikurung juga, bahkan bisa diberi hukuman kebiri,” tutup Fuadri. (*)