Banda Aceh (Waspada Aceh) – Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Aceh meluruskan dan membantah informasi beredar, yang menuduh YARA menyuap Keuchik Lamteuba agar mau menerima pengungsi Rohingya di gampongnya.
Memang sebelumnya Ketua YARA Aceh Safaruddin mengatakan siap menampung sementara para pengungsi Rohingya di kebun miliknya seluas 12 hektare yang berada di wilayah Lamteuba, Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar.
Namun kemudian muncul penolakan dan bahkan dirinya dituduh menyuap Keuchik Lamteuba agar menerima pengungsi Rohingya.
Safaruddin, dalam konferensi pers di Banda Aceh, Kamis (28/12/2023) mengatakan alasan ingin menampung pengungsi Rohingya untuk sementara karena atas dasar kemanusiaan. Apalagi keadaan pengungsi Rohingya sangat menyedihkan karena terdiri dari anak-anak dan perempuan yang ditolak di mana-mana.
Tentunya keadaan seperti ini sangatlah menyedihkan. Karena itu Safaruddin menegaskan bahwa YARA sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak pernah menerima uang dan tidak pernah menyuap masyarakat Lamteuba.
“Kenapa kami berinisiatif menampung pengungsi karena ini rasa kemanusiaan. Jangankan manusia, sapi saja ketika malam kita jemput, apalagi ini manusia,” sebutnya.
Atas dasar itu kata Safaruddin, dia menawarkan kepada Pemerintah Aceh Besar agar kebun miliknya dijadikan sebagai tempat penampungan sementara bagi pengungsi Rohingya, tanpa harus dibayar.
Dia juga sudah berkoordinasi dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan meninjau lokasi tersebut layak atau tidaknya dijadikan tempat sementara bagi pengungsi Rohingya.
Setelah itu, baru Safaruddin menyurati Pemerintah Aceh Besar, supaya menetapkan lahan tersebut sebagai tempat penampungan sementara.
Namun, lanjut Safaruddin, Pemkab Aceh Besar belum memberikan tanggapan terkait hal ini.
Dia juga mengakui, sudah berkoordinasi dengan kemungkiman Lamteuba, dan hasil kesepakatan, para keuchik, mukim dan tokoh masyarakat meminta untuk sementara waktu pengungsi Rohingya tidak ditempatkan di sana karena sedang terjadi gejolak di masyarakat.
Dia menghormati proses tersebut, karena baginya yang paling penting adalah pengungsi Rohingya memiliki tempat sementara agar tidak terlunta-lunta.
“Bagi saya tidak masalah, ini hanya memantik tanggung jawab pemerintah. Jangan seperti ini, ini kan manusia terlunta-lunta dan ini sudah menjadi pembicaraan di tingkat nasional. Ini memalukan bagi kita selaku warga Aceh,” sebutnya.
Karena itu, dia meminta kepada Pemerintah Aceh untuk segera mencari solusi terkait penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.
Satu lagi, kata Safaruddin, perlu diingat bahwa pengungsi Rohingya ini berbeda dengan imigran. Pengungsi Rohingya ini tidak punya apa-apa, tidak punya KTP dan passport yang ada hanya status yang diberikan oleh UNHCR sebagai pengungsi.
Mereka ini tidak bisa dideportasi, jadi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, warga Aceh harus menerima untuk sementara. Dia pikir atas dasar kemanusiaan tidak ada salahnya menerima pengungsi Rohingya untuk sementara.
Setelah tempat penampungan sementara ada, baru nanti dibicarakan langkah selanjutnya serta keberadaan mereka selama di tempat pengungsian mendapat pengamanan dari pihak kepolisian.
“Saya pikir tidak ada yang rumit kalau alat-alat negara bergerak dengan sigap sesuai dengan aturan,” tegasnya.
Di samping itu, dia juga sepakat aparat penegak hukum menindak secara tegas jika ada terindikasi kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Tentunya, jika sudah ada TPPO para pengungsi Rohingya yang lain justru menjadi korban dari kejahatan mereka. (*)