Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaAcehDiskusi Refleksi Darurat Kebebasan Pers di Aceh, Begini Kata Jurnalis saat Meliput...

Diskusi Refleksi Darurat Kebebasan Pers di Aceh, Begini Kata Jurnalis saat Meliput di Masa Konflik Aceh

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh bersama Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh menggelar pameran foto dan diskusi refleksi darurat kebebasan pers di Aceh dengan tema “Jurnalis tak bisa dibungkam,” Rabu (28/4/2021).

Acara yang dipusatkan di Kantor AJI Banda Aceh ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day (WPFD) 2021 yang diperingati 3 Mei 2021.

Ketua AJI Banda Aceh, Juli Amin, mengatakan selain diskusi terdapat beberapa pameran foto hasil potret jurnalis yang bertugas pada masa konflik Aceh.

“Topik ini kita angkat bukan untuk membangkitkan kembali konflik Aceh, namun lebih menyampaikan kisah jurnalis, bagaimanapun situasinya, sesulit apapun saat itu tetap bisa berkarya,” tutur Ketua AJI Banda Aceh.

Diskusi tersebut menghadirkan narasumber Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah Aceh, Munir Noer, CEO Acehkini, Adi Warsidi, dan Fotografer EPA Hotli Simanjuntak, yang sudah melewati masa liputannya sejak fase konflik, tsunami hingga saat ini.

Munir Noer mengatakan, saat konflik yang kerap dialami jurnalis yaitu adanya ancaman terhadap keluarga wartawan.

“Ketika berita naik, keluarga kita akan mendapat ancaman. Ini sebuah permasalahan untuk wartawan lokal saat konflik,” ungkap Munir sambil meneteskan air mata.

Mantan Jurnalis RCTI ini pun menambahkan bahwa peran media saat konflik sangat besar. Sebagai wartawan tugasnya tidak hanya meliput, tapi juga sebagai pemberi solusi dari sebuah pertikaian.

CEO Acehkini, Adi Warsidi, mengatakan, sejak liputan di masa konflik para wartawan saat itu sangat dikekang dan dibatasi dan mendapat banyak ancaman. Bahkan setiap wartawan perlu memiliki kartu pers merah putih. Ia juga mengatakan saat itu juga pemberitaan lebih dominan pada penguasa darurat militer sehingga berita terkait komentar GAM tidak banyak dimuat.

“Pembatasan tidak hanya dilakukan oleh penguasa darurat militer tapi juga GAM, sehingga terjadilah pembakaran beberapa mobil yang berisi koran. Itu beberapa kali terjadi pembakaran, karena koran tidak lagi memuat komentar-komentar GAM,” ungkapnya.

Adi juga mengungkapkan bahwa pengekangan juga dilakukan oleh penguasa darurat sipil daerah yang mengeluarkan imbauan kepada media agar menyiarkan iklan keberhasilannya untuk melemahkan perjuangan GAM yang dimuat secara gratis.

Adi juga pernah menanyakan terkait kondisi tersebut kepada ketua AJI Banda Aceh saat itu, Alm Muharram M Nur, yang menjadi korban musibah tsunami 2004 silam.  Dia mengutip jawaban Muharam M Nur, yaitu “mereka punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita ga bisa gugat. Kita ga bisa berbuat apa-apa, karena undang-undang dapat memungkinkan mereka berbuat apa saja,” ungkap Adi Warsidi menirukan jawaban Muharram M Nur.

Pahitnya konflik bukan hanya dirasakan oleh para wartawan dari Aceh, mereka yang datang dari luar Aceh karena ditugaskan untuk liputan ke Aceh pun sama. Begitupun yang dirasakan Fotografer EPA Hotli Simanjuntak asal Tapanuli Utara.

Hotli mengatakan sebagai orang non Aceh pada mulanya sempat khawatir saat ditugaskan untuk meliput di Aceh. Ia kerap membaca pemberitaan terkait pemberontakan di Aceh.
Namun saat meliput kondisi konflik tersebut, katanya, ruang geraknya lebih luas daripada para jurnalis lokal.

“Saya sebagai orang luar aksesnya bisa kemana-mana, susah dipantau. Kalau mau dicari keluarga ataupun kantor media lokasinya di luar Aceh, jadi sedikit bebas. Tetapi tetap ada ancaman dan kendala-kendala selama bertugas,” kata Hotli Simanjuntak. (Cut Nauval Dafistri)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER