Jumat, Juni 13, 2025
spot_img
BerandaSumutDi Atas Bus Listrik, Kita Belajar Beradab

Di Atas Bus Listrik, Kita Belajar Beradab

Di tengah desakan tubuh-tubuh yang berdiri, keramahan dan kepedulian justru hadir. Wajah Medan yang tak sering terlihat.

“Ibu, silakan duduk di sini.” Kalimat itu lepas dari mulut seorang gadis berhijab, berseragam putih.

Dengan refleks yang tenang dan penuh empati, gadis ini bangkit dari kursinya dan mempersilakan seorang ibu keturunan Tionghoa—sekitar lima puluh tahun usianya—untuk duduk. Senyum hangat si ibu menjadi balasan yang sederhana, tapi tulus.

Gadis itu pun berdiri, berimpit bersama penumpang lain yang berdiri. Ia tetap tersenyum. Tak ada keluhan. Tak ada gerutu.

Beberapa menit berselang, pemandangan serupa terulang. Seorang pria usia lima puluhan mempersilakan ibu paruh baya duduk di tempatnya. “Ibu duduk di sini saja. Saya berdiri, tak apa,” katanya. Si ibu mengangguk, lalu duduk. Lagi-lagi, tanpa banyak kata. Tanpa drama. Hanya keikhlasan.

Kejadian-kejadian kecil ini terlihat bukan di tempat elit, bukan pula di forum diskusi publik tentang etika sosial. Tapi di dalam Bus Listrik milik Pemerintah Kota Medan—sebuah ruang urban tempat orang-orang biasanya saling cuek, bahkan saling berebut.

Rabu sore (11/6/2025), penulis menumpang bus dari halte dekat Simpang Pinang Baris menuju koridor Lapangan Merdeka, persis di depan Pos Bloc Medan. Dan di tengah desakan tubuh-tubuh yang berdiri, keramahan dan kepedulian justru hadir sebagai wajah Medan yang tak sering terlihat.

Beradab di Tengah Padat

Bukan hanya satu atau dua penumpang yang memberi tempat duduk. Beberapa tampak paham betul siapa yang lebih layak diprioritaskan: lansia, perempuan, dan ibu hamil. Rupanya, imbauan yang tertempel di dinding bus—agar penumpang memberi tempat duduk bagi yang lebih membutuhkan—bukan cuma formalitas. Ia telah menjelma menjadi kesadaran.

Bus ini memang ramai. Maklum, penulis naik setelah waktu Ashar, saat lalu lintas dan angkutan umum mulai penuh. Di tiap halte, dua hingga lima penumpang naik. Suasananya padat, tapi tak gaduh. Rapi, dan sebagian besar orang terlihat saling menghargai ruang.

“Kalau sore begini memang padat, Pak,” ujar seorang perempuan yang berdiri di sebelah, hendak pulang ke Tembung.

Bayar Tinggal Scan

Begitu masuk ke dalam bus, sopir langsung mengarahkan dengan ramah. Pembayaran hanya bisa dilakukan secara non-tunai. Bisa pakai kartu e-toll, QRIS, atau dompet digital lainnya. Tidak ada celengan uang. Tidak ada tarik-tarikan karcis.

“Bapak scan di sini saja ya,” katanya sambil menunjuk alat pembayaran di samping tempat duduknya.

Tampilannya modern. Setelah scan, keluar tarif Rp5.000. Penumpang tinggal tekan PIN, dan pembayaran selesai. Penulis sempat membantu seorang ibu yang kehabisan saldo e-toll. Dengan QRIS dari ponsel yang sama, milik penulis. Pembayaran melalui QRIS bisa dilakukan berulang kali untuk beberapa orang.

“Kalau pakai e-toll hanya bisa sekali. Tapi QRIS bisa beberapa kali, Pak,” jelas si sopir sambil tersenyum.

Tampak penumpang Bus Listrik yang baru naik dari halte, melakukan pembayaran non tunai melalui alat yang tersedia di dalam bus. (Foto/Maskur Abdullah)

Nyaman di Dalam, Sengsara di Luar

Busnya bersih. AC dingin. Tempat duduk nyaman. Berdiri pun nyaman. Lantainya bersih dari sampah. Tidak ada musik bising, tidak ada pengamen. Suara deru mesin pun nyaris tak terdengar.

Suasana tenang. Ini fasilitas publik yang layak dan manusiawi. Namun sayangnya, begitu keluar dari bus, di beberapa halte, kenyamanan itu langsung kontras.

Halte—tempat orang menunggu bus—nyaris luput dari perhatian. Di Jalan Gatot Subroto, misalnya, halte tanpa atap dan tanpa tempat duduk. Tak ada peneduh. Hanya tiang-tiang dan rangka besi, tempat penumpang menunggu. Jika panas, penumpang kepanasan. Jika hujan, silakan pasrah.

“Dalam bus sudah bagus. Tapi ada sebagian halte seperti tak diurus. Harusnya ini jadi perhatian wali kota,” keluh Halim Tanjung, salah satu penumpang.

Salah satu halte bus di Jalan Gatot Subroto, dekat Simpang Pinang Baris Medan, yang sudah tak beratap dan tanpa kursi. (Foto/Maskur Abdullah)

Di sepanjang rute menuju Pos Bloc, halte di beberapa titik tampak bernasib serupa. Seperti di kawasan Jalan Gajah Mada: tak beratap, bahkan tak tampak seperti halte lagi.

Infrastruktur Baik Perlu Konsistensi

Bus Listrik Medan mulai beroperasi Januari 2024. Di awal, tarifnya gratis. Namun sejak Januari 2025, pemerintah menetapkan tarif Rp5.000 dengan sistem pembayaran digital. Bus ini bisa menampung 42 penumpang, duduk dan berdiri.

Kini, sudah ada 60 unit bus yang melayani warga Medan, menyusuri rute-rute penting seperti Amplas, Belawan, Tuntungan, J City, hingga Tembung.

Langkah ini patut diapresiasi. Tapi pembangunan tak bisa hanya separuh jalan. Harus ada perbaikan halte di beberapa titik.

Bus bukan hanya kendaraan. Ia adalah ruang sosial, tempat nilai-nilai kemanusiaan diuji dan dipraktikkan. Dan di Bus Listrik Medan, sore itu, penulis menyaksikan bahwa kebaikan masih hidup. Bahwa kota ini masih punya harapan—selama kita tahu siapa yang harus duduk lebih dulu, dan siapa yang seharusnya berdiri untuk sesama.

Empati antarpenumpang sudah tumbuh. Sekarang giliran pemerintah yang harus menumbuhkan kepedulian terhadap halte dan kenyamanan sejak kaki berpijak di jalan. Karena layanan publik seharusnya ramah, bukan hanya di dalam bus tapi juga sejak penumpang menunggu kedatangannya. (maskur abdullah)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER