Waspada Aceh – Perusahaan pengecer pakaian olahraga Prancis, Decathlon, membatalkan rencana penjualan jilbab untuk pelari perempuan setelah diprotes oleh masyarakat di negara itu.
Perusahaan itu mengatakan telah menunda penjualan produk itu menyusul “gelombang cercaan” dan “ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya”.
BBC Indonesia melaporkan, sejumlah politikus Prancis mengatakan jilbab untuk pelari perempuan bertentangan dengan nilai-nilai sekuler negara tersebut. Beberapa anggota parlemen juga telah menyarankan memboikot merek tersebut.
Produk jilbab untuk atlet ini sudah dijual oleh Decathlon di Maroko. Persoalan terkait bagaimana kaum perempuan Muslim berpakaian di depan umum acap kali memicu kontroversi di Prancis.
“Kami membuat keputusan untuk tidak memasarkan produk ini di Prancis saat ini,” kata juru bicara Decathlon Xavier Rivoire kepada radio RTL pada hari Selasa (26/2/2019).
Dia sebelumnya mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa mereka berencana menjualnya di Prancis agar “olahraga dapat diakses oleh semua perempuan di dunia”.
Jilbab polos dan ringan, yang menutupi rambut dan bukan wajah, rencananya akan mulai dijual di 49 negara mulai Maret.
Perusahaan peralatan olahraga Nike telah memasarkan hijab untuk kegiatan olahraga di Prancis sejak 2017.
Perusahaan BUMN Prancis itu mengatakan telah menerima 500 panggilan telepon dan email yang isinya memprotes rencana penjualan “jilbab untuk pelari”.
Sejumlah karyawan perusahaan yang bekerja di gerai toko sempat dihina, dan bahkan secara fisik terancam.
Menteri Kesehatan Agnes Buzyn mengatakan kepada RTL bahwa meskipun produk seperti itu tidak dilarang di Prancis, “Saya lebih suka jika merek Prancis tidak mempromosikan jilbab.”
Juru bicara Presiden Emmanuel Macron, yang juga politikus La Republique en Marche, Aurore Berge, juga mempertimbangkan agar masyarakat memboikotnya.
“Pilihan saya sebagai perempuan dan warga negara adalah tidak lagi percaya pada merek yang tidak sesuai nilai-nilai kita,” katanya.
Menanggapi cuitan Aurore Berge di akun Twitternya, Decathlon mengatakan, “Tujuan kami sederhana, yaitu menawarkan (kepada perempuan yang mengenakan jilbab) produk olahraga yang diadaptasi, tanpa penilaian.”
Belakangan, perusahaan pakaian olahraga itu memilih berdamai setelah mendapat gelombang penolakan yang “melampaui keinginan kami untuk memenuhi kebutuhan pelanggan kami”.
Prancis berpendapat bahwa simbol keagamaan yang bersifat lahiriah, seperti jilbab, tidak menunjukkan penampilan yang netral yang berlaku bagi mahasiswa dan pekerja sektor publik di bawah hukum ketat negara sekular.
Pengenaan jilbab diperbolehkan di ruang publik di Prancis, tetapi dilarang digunakan di sekolah-sekolah negeri dan di sejumlah kawasan publik sejak 2004.
Pada 2016, beberapa daerah Prancis melarang penggunaan apa yang sering disebut sebagai burkini, pakaian renang untuk perempuan yang menutupi seluruh tubuh, di kawasan pantainya. Larangan itu kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung Prancis.
Larangan seperti ini menyebabkan kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Prancis bersikap Islamofobia dan melakukan stigmatisasi terhadap perempuan Muslim, setelah melarang penggunaan burka pada 2010. (bbcindonesia.com)