Sabtu, Juli 27, 2024
Google search engine
BerandaOpiniDari Pandemi ke Endemi, Masih Efektifkah Pembelajaran Daring?

Dari Pandemi ke Endemi, Masih Efektifkah Pembelajaran Daring?

“Bagi anak-anak yang keluarganya masih hidup di bawah garis kemiskinan, telepon pintar atau komputer adalah barang mewah”

———-

Penulis: Ruhaya Azzahra

Kabar baik datang dari sejumlah pernyataan ahli seperti Dekan UNS, Prof. Reviono, yang menyampaikan kepada detik.com bahwa setiap virus sangat mungkin berubah statusnya dari pandemi menjadi endemi apabila angka kasus stabil, tingkat kematian rendah, dan cakupan vaksinasi luas (2022).

Kriteria ini sejalan dengan prediksi Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia-Tedros Adhanom Ghebreyesus dan CEO Moderna-Stephane Bancel yang kurang-lebih menyatakan bahwa COVID-19 dapat dikalahkan di tahun 2022 (BBC, 2021) dan kehidupan akan kembali normal pada akhir tahun yang sama setelah mayoritas penduduk dunia telah mendapatkan vaksin booster (Reuters, 2021). Sudah pasti angin segar semacam inilah yang telah dinanti-nanti oleh masyarakat global sejak pandemi ini merebak dua tahun lalu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebaran virus ini telah memporak-porandakan tatanan kehidupan segala aspek terutama sosial, politik, dan ekonomi. Tak hanya kerugian materiil saja, tercatat lebih dari enam juta jiwa harus kehilangan nyawa, tak selamat dari ganasnya penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini (Worldometers, 2022). Keadaan genting akhirnya memaksa masyarakat untuk beradaptasi dengan segala pembatasan yang diatur dalam kebijakan para otoritas negara bahkan dunia demi menekan penyebaran virus ini. Salah satunya adalah pembatasan dalam aspek pendidikan.

Di Indonesia sendiri, pada periode tertentu seperti sekitar Juni 2021 dan Februari 2022 (Worldometers, 2022), proses mengajar-belajar tatap muka umumnya dihentikan secara total karena ledakan jumlah kasus infeksi dari virus COVID-19 varian Delta dan Omicron. Aktivitas pendidikan yang awalnya dilaksanakan secara langsung, mulai saat itu digantikan dengan metode daring. Murid sekolah dasar hingga mahasiswa pun akhirnya harus berkutat dengan alternatif gaya belajar baru yang tentu saja masih asing bagi mereka.

Ketika belakangan ihwal pandemi mulai berangsur reda, wacana tentang mempertahankan sistem belajar ini secara permanen sontak mulai dibicarakan. Namun penulis beropini bahwa metode ini sama sekali tidak perlu dinormalisasi. Pada dasarnya, argumentasi ini dititik-beratkan pada rintangan dan dampak buruk yang dihasilkan, serta ketiadaan dari kondisi darurat sebagaimana dibahas sebelumnya. Untuk itulah essai ini secara garis besar ditulis sebagai penjelasan dari alasan mengapa sistem daring tidak efektif diimplementasikan di masa pasca pandemi.

Terdapat Gap

Jika berfokus pada anak didik yang notabene mayoritasnya adalah Gen Z, maka wajar apabila banyak orang berpikir bahwa belajar daring tidak akan mendatangkan rintangan yang serius. Gen Z sendiri dikenal dengan sebutan lain seperti iGeneration atau GenNet, dimana dari penamaan ini pun dapat disimpulkan bahwa individu dalam generasi ini tidak mungkin awam terhadap teknologi informasi dan komunikasi modern zaman sekarang. Namun nyatanya, banyak variabel lain yang memengaruhi efektifitas program belajar daring ini.

Memang wajar bila Generasi Z familiar dengan gadget pendukung belajar daringseperti smartphone dan PC (personal computer), tapi belum semua dari mereka mengenal platform-platform yang akhirnya menjadi begitu populer selama masa pandemi seperti Zoom App. Sebagai salah satu contoh yang paling lumrah digunakan dalam sistem pendidikan daring di Indonesia, angka unduhan harian dari Zoom App sendiri bahkan meningkat tiga puluh kali lipat dalam kurun waktu setahun (CNBC, 2020).

Tercatat, pada bulan Maret 2020, aplikasi gratis ini telah didownload 200 juta kali, padahal tiga bulan sebelumnya jumlah unduhannya hanya sekitar 10 juta saja (CNBC, 2020).  Kendatipun demikian, tak perlu waktu lama bagi generasi ini untuk bisa terampil dalam mengaplikasikannya. Masalah-malah muncul di saat publik sadar bahwasannya belajar daring ini juga diharuskan untuk generasi setelah GenZ (generasi kelahiran setelah tahun 2010). Di lain pihak, mayoritas fasilitator di lembaga-lembaga pendidikan berasal dari generasi X dan Y. Sebagian guru dan dosen juga bahkan ada yang kelahiran sebelum tahun 1965 atau dikenal juga dengan sebutan generasi Baby Boomer yang kurang teristiadat dengan kehidupan serba digital.

Peran Orang Tua Menentukan

Bagi anak didik yang duduk di bangku PAUD hingga 6 SD, sistem daring pasti tidak pernah terlintas di pikiran mereka. Selain karena usia mereka masih dalam fase belajar sambil bermain atau paling tidak belum masuk usia yang cakap dalam menggunakan gawai. Dalam cakupan usia tersebut, memberikan kebebasan menggunakan gawai dan berselancar di jagad maya bukanlah sebuah keputusan yang bijak dan mudah bagi orang tua. Meskipun demikian, karena kondisi pandemi Corona, para orang tua juga harus memutar otak dalam mengimplementasikan parental guide berupa; pembatasan konten sensitif, manajemen waktu, dan pendampingan langsung.

Orang tua yang memiliki edukasi digital yang baik biasanya menyalakan pengaturan pembatasan konten sensitif pada device yang digunakan oleh buah hati mereka, bekerja keras menerapkan manajemen waktu agar anak tidak kecanduan oleh fasilitas digital, dan melupakan kehidupan sosial yang sebenarnya, serta membimbing anak dalam mengerjakan tugas-tugas jika dibutuhkan. Sayangnya tidak semua anak memiliki orang tua yang paham konsep literasi digital. Seandainya pun paham, bisa jadi beberapa orang tua tidak punya cukup waktu untuk melakukan pengawasan karena tuntutan pekerjaan mereka. Belum lagi jika mempertimbangkan nasib anak-anak yang bahkan tidak memiliki orang tua sama sekali.

Lagi pula, tidak semua mata pelajaran cocok dengan metode virtual tersebut. Misalnya saja, bagi seorang guru seni yang terbiasa membantu mengoreksi warna cat yang digunakan muridnya secara detail, alih-alih melakukan hal tersebut layaknya pada workshop tatap-muka, mengidentifikasi warna secara akurat saja sudah sangat sulit. Kualitas kamera, pencahayaan, dan kestabilan jaringan internet yang digunakan pun sangat menentukan. Sistem ini juga dianggap fatal bagi dosen pengajar mata kuliah yang didominasi dengan praktek seperti kegiatan di laboratorium kimia atau bagi guru PAUD dan ABK yang wajib melakukan kontak fisik kepada peserta didik demi mendapatkan perhatian dari mereka.  

Pemerataan Kesejahteraan 

Unsur lain yang barangkali terdengar klise namun tidak terbantahkan ialah soal kesejahteraan. Karena pada dasarnya, tidak semua anak beruntung memiliki orang tua yang mapan secara finansial. Bagi anak-anak yang keluarganya masih hidup di bawah garis kemiskinan, telepon pintar atau komputer adalah barang mewah. Segelintir anak yang masih harus membantu orang tuanya berdagang kaki lima, memulung, atau mengamen di persimpangan jalan sepulang sekolah tentu berpikir bahwa memiliki perangkat digital seperti itu hampir bisa dibilang bak mimpi di siang bolong.

Agaknya mereka hampir tidak memiliki keistimewaan untuk membeli sesuatu diluar kebutuhan primer seperti; sandang, pangan, dan papan. Untuk memenuhi kebutuhan sekunder seperti akses fasilitas kesehatan dan pendidikan saja harus berharap dari kemurahan hati pemerintah. Konon lagi jika itu adalah akses teknologi digital. Mirisnya lagi, banyak kasus kriminalitas yang timbul karena permasalahan ini, terutama kasus pencurian uang dan telepon pintar dimana pelakunya mengaku motif perbuatan pidana tersebut dilakukan demi bisa memfasilitasi sang anak untuk bersekolah online.

Selain pasal adanya halangan dan rintangan dalam prosedur pelaksanaan sistem daring ini, pertimbangan soal adanya kemudaratan dari habitualisasi sistem tersebut juga harus menjadi pertimbangan khusus. Kemudaratan yang dimaksudkan disini berkaitan dengan kejujuran dan pengembangan integritas pribadi anak didik. Karena temuan di lapangan menunjukkan ternyata ada banyak celah untuk memanipulasi dalam sistem belajar daring ini.

Sebagai contoh nyatanya, penulis sendiri kerap kali mendapat tawaran untuk mengerjakan tugas rumah anak dari beberapa kerabat yang sedang menjalani sekolah online. Kebanyakan tugas yang ditawarkan berupa pengerjaan kesimpulan bab di buku cetak, soal matematika, hingga karya seni rupa. Tak sedikit dari orang tua murid tersebut berani merayu untuk membayar jasa penulis ketika hendak menolak tawaran tersebut. Pasti tawaran ini juga pernah dialami oleh banyak orang selain penulis. Belakangan bahkan “joki tugas” komersial yang bermunculan; dari jasa menggambar, tulis tangan, hingga pembuatan karangan bebas. 

Akar permasalahan ini barangkali juga disebabkan karena standar objektif pembelajaran yang tidak masuk akal dan sejumlah oknum tenaga pengajar yang ignorant. Terutama jika tugas yang diberikan hanya perlu dikumpulkan dalam bentuk foto saja. Selain guru tidak dapat maksimal melihat proses pengerjaannya, tugas tersebut juga tidak diperiksa bentuk fisiknya. Sebagian besar guru menilai mentah-mentah tugas yang dikumpulkan muridnya tanpa mengecek apakah tulisan tersebut adalah benar tulisan tangan yang bersangkutan? (atau) Apakah makalah tersebut hasil plagiarisasi? (atau) Apakah wajar jika mozaik kacang yang dikerjakan murid kelas 2 SD bisa serapi dan sedetail itu? Lewat sistem ini, orisinalitas dari tugas-tugas yang dikumpulkan tidak bisa diidentifikasi secara jelas karena tidak semua guru berpikiran kritis dan mengingat batas kemampuan murid-muridnya.

Faktanya, dibalik tugas-tugas bernilai sempurna itu terkadang ada orang tua yang pontang-panting mengerjakannya sepulang kantor, ada seorang remaja yang mengerjakan hasta karya adik sepupunya karena dijanjikan uang jajan oleh pamannya, dan sebagainya. Orang tua kerap membiarkan tingkah anaknya yang mengacuhkan tugas dengan bermain seharian dan merasa lebih baik mengambil alih tugas tersebut sendiri atau mencari bantuan dari orang lain ketimbang harus bersikap tegas-mendisiplinkan anaknya. Lantas kecurangan dibiarkan merajalela dan justru dianggap sebagai hal biasa. Oleh karena itu, aklimasi ini dikhawatirkan berefek-menjauhkan anak dari rasa percaya diri dan tanggung jawab.

Pembelajaran daring memang sudah seharusnya diterapkan dalam masa tertentu seperti; pandemi, konflik atau kondisi lainnya yang membuat siapapun terancam kesehatan, bahkan nyawanya jika harus menempuh jarak dan melakukan pembelajaran secara langsung.

Di luar emergency measure tersebut, penulis berpendapat bahwa barangkali contoh sistem belajar daring yang sukses hanya terdapat pada post-graduate-online-course yang ditawarkan oleh sejumlah universitas papan atas dunia bagi penerima beasiswa dari negara kurang berkembang. Namun bisa saja kedepannya metode ini dijadikan alternatif bagi murid yang tidak ingin ketinggalan pelajaran, namun sedang berobat jalan di luar kota atau bagi murid yang tengah menjalani karantina pekan olahraga dunia di luar negeri demi mengharumkan nama bangsa.

Tetap menerapkan sistem daring di saat dunia sedang “baik-baik saja” tidak akan menghasilkan manfaat lebih ketimbang melakukan sistem belajar-mengajar di sekolah atau kampus. Hal ini dipengaruhi kesenjangan literasi digital antar generasi, keterbatasan pengawasan, ketidakcocokan sistem terhadap mata pelajaran tertentu, permasalahan ekonomi, sampai risiko kerusakan karakter anak bangsa. Maka dapat disimpulkan, melanjutkan sistem ini post-pandemic pada akhirnya hanya akan memelihara serta membudidaya lingkungan pendidikan yang diskriminatif, manipulatif dan jauh dari kata efektif. (**)

  • Penulis adalah alumnus FH UKS

 

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER