Jumat, Oktober 18, 2024
BerandaLaporan KhususCo-Firing Sumber Energi Bersih di Aceh, Antara Pasokan dan Isu Degradasi Lingkungan

Co-Firing Sumber Energi Bersih di Aceh, Antara Pasokan dan Isu Degradasi Lingkungan

Kebijakan Co-firing diatur dalam Peraturan Menteri No 12 Tahun 2023 tentang pemanfaatan biomassa di PLTU, tujuannya untuk menekan emisi karbon serta mengurangi ketergantungan pada batu bara.

Deriansyah (40) sibuk memilih kayu gelondongan di antara tumpukan sampah di Pantai Lam Naga, Desa  Peunaga Rayeuk, Kec Meureubo, Aceh Barat, Provinsi Aceh. Berbagai jenis sampah yang terbawa arus laut pasca hujan seperti botol plastik, ranting kayu, dan batang-batang pohon tampak terdampar di sepanjang bibir pantai.

Kayu yang berdiameter sekitar 25 Cm dengan panjang antara satu hingga dua meter itu dikutip, kemudian dipotong dengan gergaji menjadi beberapa bagian. Suara gergaji mesin meraung bersahut-sahutan dengan deburan ombak yang terus menghantam pantai.

“Sekarang cuaca lagi pas, kami mulai ambil kayu-kayunya. Lalu kami olah jadi biomassa kebutuhan PLTU 1 dan 2 Nagan Raya,” ujar pria yang akrab disapa Adun Deri, Rabu (28/8/2024).

Dia tidak bekerja sendiri, ia mengajak dua timnya bergerak menyisir pantai untuk mengumpulkan sampah kayu tersebut.  “Kami harus lebih hati-hati memilih kayu, karena masih mengandalkan mesin pencacah plastik, kayu-kayu yang keras seperti jenis kayu cemara, tidak kami ambil karena  khawatir mesinnya  bisa rusak,” katanya.

Setelah kayu yang dipilah terkumpul, mereka mengangkutnya ke dalam gerobak dan becak. Kayu itu kemudian dibawa ke tempat pencacahan untuk diproses menjadi serpihan. Jarak dari pantai tempat pengambilan kayu, ke tempat pencacahan sekitar 2,2 Km.

Deri baru mengetahui potensi biomassa pada awal 2024, saat mendengar bahwa PLTU 1 dan 2 Nagan Raya membutuhkan pasokan biomassa untuk dibakar bersama batu bara. Metode co-firing (pembakaran dua bahan bakar berbeda dalam sistem pembakaran yang sama) diklaim mampu menghasilkan energi bersih.

“Saya pikir hanya perusahaan besar yang bisa menyuplai biomassa. Ternyata kami bisa menjual langsung ke PLTU tanpa melalui vendor,” katanya.

Ternyata Deri tidak hanya mengumpulkan kayu. Bersama temannya, Abdullah, Deri punya misi mendirikan “Bang Dolah Recycle”. Bank sampah yang hadir dari kegelisahan melihat kawasan di Pantai Lam Naga yang dipenuhi sampah saban hari.

“Apalagi kalau musim hujan, makin penuh sampah di sini. Jadi sampah ini bisa kami pilah. Yang plastik kami bawa ke Bank Dolah Recycle, sedangkan kayu kami olah jadi serpihan yang bisa dijadikan biomassa. Kalau dulu, kayu-kayu ini mungkin hanya jadi bahan bakar api unggun para nelayan,” lanjutnya.

“Waktu itu, mesin ini sempat rusak karena kayu yang dicacah terlalu keras,” katanya sambil mengumpulkan hasil serpihan kayu yang dimasukan ke dalam karung besar.

Dalam waktu setengah jam, mesin ini mampu menghasilkan lima karung serpihan kayu, dengan berat sekitar 150 kilogram. “Satu karung beratnya sekitar 30 kilogram, jadi untuk menghasilkan satu ton diperlukan sekitar 33 karung,” jelasnya.

Serpihan kayu nantinya dibawa ke PLTU 1&2 Nagan Raya, yang berjarak sekitar 6 Km dari tempat pencacahan. Hingga saat ini, sudah tiga kali Deri memasok biomassa ke PLTU 1&2 Nagan Raya.

“Setoran pertama kami dapat lebih dari satu ton, yang kedua 2,4 ton, dan yang ketiga hampir 3,5 ton,” ujarnya.

Deri juga mengandalkan berbagai sumber pasokan biomassa, termasuk dari kilang padi dan pengrajin perabot di sekitarnya. Namun, ia mengakui bahwa kondisi cuaca menjadi tantangan tersendiri. Jika musim hujan tiba, biomassa yang dipasok dalam kondisi basah akan menurunkan nilai kalori dan harga jualnya. “Cuaca sekarang tidak sahabat, jika hujan lebat, aktivitas kami terhambat,” jelasnya.

Menurut Deri, bisnis biomassa yang ia geluti belum memberikan keuntungan yang pasti. Selain bahan baku yang tidak rutin didapatkan dan keuntungan yang minim, belum sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Prosesnya mulai dari pemilihan kayu, pemotongan, hingga pengiriman ke PLTU memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit.

“Saya bilang, kita seperti sedang ‘membakar uang’. Ini investasi, tapi apakah sudah ekonomis? Belum, karena hingga kini kita belum tahu berapa penghasilan yang pasti,” kata Deri.

Warga Aceh Barat, mengumpulkan limbah kayu di Pantai Lam Naga, Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Rabu (28/8/2024). Kayu tersebut akan diolah menjadi serpihan untuk kebutuhan co-firing PLTU 1&2 Nagan Raya. (Foto/Cut Nauval D)

PLTU membeli biomassa seharga Rp668 ribu per ton. Terakhir, mereka membayar Rp2,3 juta untuk 3,5 ton biomassa. “Dari penjualan ini, kami membagi hasilnya kepada teman-teman yang bekerja sebesar dua ratus ribu atau tiga ratus ribu per orang. Namun, jika dihitung berdasarkan waktu kerja, jumlah tersebut jelas tidak cukup. Belum lagi jika mesin rusak, uangnya habis untuk perbaikan.” lanjutnya.

Saat ini, biaya transportasi seperti bensin dan konsumsi masih ditanggung dari kantong pribadi. Deri berencana mengevaluasi dan menghitung ulang biaya operasional.

Meski keuntungan belum terlihat, ayah tiga anak ini tetap optimis. Deri yakin potensi biomassa ini bisa menjadi peluang ekonomi bagi masyarakat. “Mungkin belum banyak yang tahu, tapi biomassa ini bisa menjadi potensi ekonomi,” ujarnya.

Jerih payah Deri dan kawan-kawannya berakhir ke penumpukan dome milik PLTU 1 & 2 Nagan Raya. Di sana, serpihan kayu milik Deri menunggu giliran untuk dibakar ke tungku pembakaran. Secara kuantitas pasokan biomassa dari Deri tidak sebanding dengan pasokan perusahaan, namun bagi mereka itu sangat berarti. Dari sana mereka mendapatkan sedikit uang tambahan.

PLTU Biomassa 

Tumpukan cangkang sawit, serbuk kayu, serpihan kayu, dan sekam padi terlihat di area penampungan bahan baku atau dome PLTU 1&2 Nagan Raya, Desa Suak Puntong, Nagan Raya, Provinsi Aceh. Bahan-bahan ini adalah biomassa, yang digunakan dalam proses co-firing di PLTU.

Puluhan truk hilir mudik membawa muatan biomassa yang dikumpulkan dari berbagai wilayah di Aceh. Mereka adalah vendor perusahaan pemasok biomassa yang bekerja sama dengan PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI).

Di lokasi ini, alat berat seperti eskavator mencampur biomassa dengan batu bara. Campuran tersebut kemudian diangkat oleh crane yang dikendalikan sang operator dari ruang kontrol. Campuran itu dimasukkan ke dalam tabung dan diteruskan melalui belt conveyor menuju boiler dapur pembakaran.

Di sinilah biomassa dan batu bara dibakar untuk menghasilkan energi listrik, yang kemudian dialirkan ke konsumen. Belt conveyor beroperasi hingga 18 jam dalam sehari mengantarkan bahan bakar ke mesin  boiler pembangkit listrik. Dari seberang jalan, terlihat cerobong asap PLTU yang masih mengeluarkan kepulan asap putih.

Para pekerja tampak menggunakan sekop untuk membersihkan batu bara yang tumpah berceceran di area yang becek akibat musim hujan. Di antara para pekerja Tim Leader Operasi Coal Ash Handling (CAH), Redha Sukmana sedang mengawasi proses tersebut.

Di salah satu area dome, terlihat tumpukan karung berisi serbuk gergaji dan serpihan kayu. “Itu milik masyarakat yang dibeli langsung tanpa melalui perusahaan,” kata Redha saat ditemui Senin (12/8/2024) di PLTU Nagan Raya

Belakangan ia sedikit was-was, karena stok batu bara kian menipis, cuaca buruk yang melanda kawasan pesisir barat  Aceh membuat kapal tongkang  tak berani merapat ke dermaga.

“Selama dua bulan terakhir, stok batu bara mulai menipis, biasanya tumpukan batu bara di sini bisa mencapai ketinggian sembilan meter, kalau sekarang malah lebih banyak biomassa” katanya.

Meskipun saat itu stok biomassa berlimpah, tetapi pembakaran tetap harus dicampur dengan batu bara, sebab mesin milik PLTU 1&2 Nagan Raya tidak dirancang full biomassa. Sehingga penerapan co-firing menjadi pilihan paling tepat.

Kebijakan Co-Firing

Kebijakan Co-firing diatur dalam Peraturan Menteri No 12 Tahun 2023 tentang pemanfaatan biomassa di PLTU, tujuannya untuk menekan emisi karbon serta mengurangi ketergantungan pada batu bara.

Di Indonesia, 52 PLTU wajib menggunakan 5-10 persen biomassa dari total batu bara yang digunakan. Batu bara sebagai bahan bakar fosil menghasilkan polusi udara seperti karbon dioksida yang memicu perubahan iklim serta zat berbahaya lain yang merusak kesehatan dan lingkungan.

Indonesia, bersama negara lain, berkomitmen menangani emisi melalui Perjanjian Paris. Perjanjian ini meminta setiap negara menargetkan  pengurangan emisi dan mencapai Emisi Nol Bersih(Net-Zero Emission). Untuk itu, Pemerintah mulai perlahan beralih dari energi fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Menurut data Global Energy Monitor sepanjang tahun 2022, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di seluruh dunia menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) sekitar 8,99 miliar ton, Indonesia berada di peringkat ke-6 dengan emisi sebesar 214 juta ton CO2.

Bagi PLN, biomassa bak peluang emas untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan cepat dan murah. Tanpa perlu membangun pembangkit listrik baru, PLN mengklaim bisa mendukung target energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Caranya adalah dengan co-firing, yaitu membakar biomassa bersama batu bara di PLTU, pemerintah menargetkan peningkatan bauran energi terbarukan hingga 12 persen melalui co-firing ini.

PLTU 1-2 Nagan Raya salah satu dari 52 PLTU yang diwajibkan menerapkan co-firing. PLTU ini beroperasi pada 2014. Setelah enam tahun membakar penuh batu bara,  pada tahun 2020, PLTU milik pemerintah ini  mulai uji coba co-firing. Ketika itu, uji coba dilakukan menggunakan cangkang sawit sebagai bahan bakar biomassa.

Pembakaran biomassa menghasilkan energi hijau dalam bentuk kWh. Energi hijau adalah energi yang dihasilkan dari sumber daya alam yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan, seperti matahari, angin, dan biomassa.

Pada tahun 2021, PLTU ini membakar 4.786,26 ton cangkang sawit, menghasilkan energi hijau sebesar 2.186.116,56 KWH sekitar 2,19 MW. Setahun kemudian, jumlah cangkang sawit yang dibakar meningkat menjadi 10.627,71 ton, menghasilkan 11.135,28 KWH energi hijau.

Pada tahun 2021 dan 2022, mereka hanya menggunakan cangkang sawit sebagai pendamping batu bara. Namun, pada tahun 2023, penggunaan biomassa menurun drastis menjadi 4.373,11 ton, setara dengan 3.887,00 KWH energi hijau.

Menurunnya pembakaran biomassa karena kesulitan dalam mendapatkan cangkang sawit. Sebagian besar cangkang sawit diekspor ke luar negeri seperti Jepang dan India yang bersaing dengan harga lebih tinggi, sehingga mengurangi pasokan di dalam negeri.

“Cangkang sawit ini hanya perusahaan sawit yang bisa supply ke kita. Sementara kita bersaing dengan ekspor, sehingga penggunaan cangkang sawit sebagai bahan baku co-firing tidak bisa konsisten,” ujar Redha.

Akhirnya, PLTU 1&2 Nagan Raya mencari potensi biomassa yang lain, seperti sekam padi, sawdust, hingga wood chip. “Kita pernah juga uji coba pakai kayu kaliandra, tapi skalanya masih kecil,” lanjut Redha.

Bukan hanya karena harga cangkang yang melambung, tetapi ada kebijakan khusus yang mengatur sistem pemasok serta penetapan standar mutu biomassa. Kemudian jenis biomassa yang digunakan mulai bervariasi, termasuk sekam padi, serpihan kayu dan serbuk kayu.

Pada 2024, jumlah biomassa yang dibakar meningkat menjadi 9.863,53 ton, menghasilkan 9.306,02 KWh energi hijau.

Tim Leader Niaga dan Bahan Bakar PLTU 1&2 Nagan Raya, Edi Purnama, mengatakan dulu harga cangkang sawit Rp600 ribu per ton, tetapi kini sudah mencapai Rp800 ribu per ton. Sedangkan harga batubara antara Rp800 ribu hingga Rp1 juta per ton.

“Sekarang mencampur cangkang sawit dengan batu bara sudah tidak ekonomis lagi. Jadi kami mencari alternatif bahan bakar biomassa lain, seperti sekam atau woodchip,” katanya.

Untuk memenuhi pasokan biomassa, mereka melibatkan warga sebagai pemasok. Ada dua cara, yaitu dengan membeli melalui perusahaan vendor atau membeli  langsung dari masyarakat. Untuk memudahkan transaksi, mereka juga meluncurkan aplikasi Biomass Store.

“Kami tetap menerima biomassa dari warga yang ingin menjualnya,” ujar Edi.

Penerimaan biomassa dibedakan yang berasal dari vendor dan masyarakat langsung. Jika biomassa berasal dari warga dan jumlahnya kecil, mereka tidak menghitung nilai kalorinya dan adanya penyesuaian harga.  Nantinya ada proses visual check untuk memastikan kualitas biomassa dan penyesuaian harga berdasarkan kalori.

“Tapi untuk biomassa dari vendor yang jumlahnya banyak, kami cek kelembaban atau moisture-nya. Semakin kering biomassa, semakin bagus kalorinya. Biomassa yang terlalu basah akan kami tolak,” jelas Edi.

Dengan beban 70 MW, PLTU 1-2 Nagan Raya memerlukan total bahan bakar mencapai 3.800 ton per hari. Namun, pasokan biomassa hanya mencapai 20-50 ton per hari. Sisanya tetap mengandalkan batu bara.

“Kebutuhan biomassa harian kami sekitar 200 ton, sementara yang tersedia hanya 20-50 ton. Ini jauh di bawah target 12 persen,” jelas Edi.

Pemanfaatan biomassa dalam proses co-firing selama ini masih bergantung pada limbah perkebunan yang tidak dikelola secara optimal dari hulu ke hilir. PLTU 1 dan 2 Nagan Raya mengakui adanya potensi besar dengan menanam pohon biomassa, seperti penanaman pohon jenis kaliandra, yang dapat memenuhi kebutuhan biomassa secara berkelanjutan.

Pemerintah juga berencana untuk menjadikan Hutan Tanaman Energi (HTE) guna memenuhi kebutuhan pasokan biomassa bagi PLTU. Namun, hingga kini, PLTU 1 dan 2 mengakui belum ada kerjasama terkait hutan tanaman energi tersebut. Mereka baru bekerja sama dalam penyediaan bibit penanaman kayu kaliandra dengan Universitas Teuku Umar dan menyebutkan beberapa wilayah dengan potensi penanaman kaliandra, seperti lahan di Gayo Lues.

Bermitra dengan Vendor

PT PLN UPK 1&2 Nagan Raya menggandeng empat vendor sebagai pemasok biomassa. Salah satunya  PT Kurma Karya Global yang  rutin memasok beberapa jenis biomassa, seperti sekam, serpihan kayu, dan serbuk kayu. Perusahaan ini bekerja sama dengan berbagai panglong kayu dan kilang padi di sejumlah daerah, termasuk Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Tamiang, dan beberapa daerah lainnya.

“Kami memasok sekitar 400 ton biomassa per bulan ke PLTU. Jika dikumpulkan dari warga, bisa mencapai 40-50 ton per minggu,” kata Humas PT Kurma Karya Global, Ismail Abda, saat ditemui waspadaaceh.com, Rabu (14/8/2024).

Perusahaan yang berbasis di Meulaboh, Aceh Barat ini mengumpulkan biomassa utamanya dari Aceh Barat Daya. Di sana terdapat alat untuk memproses wood chip dari limbah kayu yang dikumpulkan dari warga dan panglong kayu sekitar. Sebanyak 60 warga dipekerjakan untuk mengumpulkan sekam dan serbuk kayu dengan pendapatan rata-rata Rp150.000 per hari.

“Namun, kapasitas produksi wood chipper saat ini masih kecil, hanya tiga ton per jam. Kami juga bekerja sama dengan kilang padi dan panglong kayu dari berbagai daerah,” jelasnya.

Mereka harus memastikan kualitas biomassa, terutama memastikan bahan baku tidak basah agar nilai kalori tetap terjaga. Kendala utama dalam memasok biomassa, menurutnya, pada biaya transportasi, terutama untuk daerah jauh dari PLTU seperti Aceh Tamiang, yang mencapai Rp4 juta per pengiriman.

PT Kurma Karya Global  juga mengakui tidak mengetahui asal-usul kayu yang dikumpulkan warga, apakah berasal dari penebangan ilegal atau tidak, karena perusahaan hanya berperan sebagai penampung.

Ketidakmampuan vendor memasok biomassa dalam skala besar menjadi persoalan serius bagi PLTU. Selama ini PLTU Nagan Raya kerap alami kekurangan stok biomassa. Ternyata program co-firing tidak semulus yang direncanakan di atas kertas. Tak hanya itu, mereka harus bersaing dengan perusahaan asing yang menawarkan harga lebih tinggi untuk cangkang sawit.

Di sisi lain, usaha PLTU dengan melibatkan warga juga tidak memberikan solusi berarti. Kemampuan warga mengumpulkan biomassa jauh lebih rendah dibandingkan vendor. Ironisnya, bisnis biomassa ini belum memberikan keuntungan signifikan bagi masyarakat lokal. Pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan jerih payah yang mereka keluarkan.

Potret Energi di Aceh

Bila dipotret lebih luas, energi hijau yang dihasilkan dari co-firing tidak memberikan sumbangsih yang besar terhadap sumber energi terbarukan di Aceh. Mayoritas sumber listrik di Aceh masih berasal dari energi kotor. Data yang diperoleh waspadaaceh.com dari PLN UID Aceh hanya 4,1 persen produksi listrik di Aceh yang bersumber dari energi terbarukan.

Aceh Miliki Potensi Terbarukan

General Manager PLN UID Aceh, Mundhakir, mengakui energi hijau yang mampu mereka hasilkan masih kecil, padahal, Aceh memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar.

Aceh memiliki potensi energi terbarukan 3.619 MW, terdiri dari potensi Pembangkit Tenaga Air, Pembangkit Tenaga Panas Bumi, Tenaga Biomassa, serta Tenaga Surya dan Bayu.  Potensi tersebut membuka peluang bagi investasi.

Pemerintah Aceh menyadari potensi besar EBT yang mereka miliki, sehingga mereka berani menargetkan bauran EBT melampaui target nasional. Aceh menargetkan  bauran EBT 25 % sementara secara nasional menargetkan 23%.

Kepala Bidang Energi dan Ketenagalistrikan Dinas ESDM Aceh, Dedi Muhamad Roza, menyebutkan target bauran EBT di Aceh adalah 25% pada tahun 2025 dan 41,3% pada tahun 2050, lebih tinggi dari target nasional. Namun sampai tahun 2023, realisasi bauran energi di Aceh baru mencapai 12,12%.

Meski realisasi masih rendah, Dedi optimis keberadaan PLTA Peusangan yang akan beroperasi pada akhir 2024 realisasinya akan meningkat drastis. PLTA Peusangan mampu menghasilkan 45 MW energi bersih.

Dalam perencanaan Pemerintah Aceh EBT dari co-firing justru tidak masuk dalam rencana realisasi EBT di Aceh. Idealnya kebijakan pemerintah pusat dikoneksikan dengan kebijakan pemerintah daerah. Berdasarkan peraturan menteri, pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan co-firing dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri ESDM RI.

“Tidak ada keterlibatan pemerintah daerah dalam kebijakan co-firing ini. kontribusi co firing  terhadap bauran energi sangat kecil,” jelasnya.

Serpihan kayu digunakan sebagai bahan bakar biomassa untuk PLTU 1 & 2 Nagan Raya. (foto/Cut Nauval D).

Solusi Ilusi

Mencermati berbagai persoalan yang dihadapi oleh PLTU, co- firing masih menghasilkan emisi,  di sisi lain co firing juga membuka peluang perambahan hutan.

Data dari PLTU 1&2 Nagan Raya, dari penerapan co-firing tersebut telah menghasilkan Karbon Dioksida (CO2) pada 2021 sejumlah 6.860,71 Metrik Ton (MT), pada tahun 2022 telah menghasilkan 12.563,49 MT dan Tahun 2023 menghasilkan 6.307,84 MT CO2.

Pada faktanya penerapan co-firing tidak sepenuhnya menghasilkan energi hijau, karena melalui proses pembakaran tetap menghasilkan emisi.

Menurut Perencana Monitoring dan Evaluasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Munawir, jika pemerintah benar-benar ingin menerapkan energi bersih, langkah yang harus diambil adalah pensiun dini PLTU dan beralih ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, mikro hidro, panas bumi, dan gelombang laut.

“Saat ini, sumber energi listrik Aceh masih dominan dari PLTU.  Seharusnya PLTU dipensiunkan dan diganti dengan pembangkit yang ramah lingkungan,” kata Munawir.

Munawir juga mengatakan terkait dukungan politik, kebijakan, dan anggaran untuk transisi energi di Aceh masih minim. “Pemerintah tidak mengalokasikan anggaran untuk energi ramah lingkungan. Contohnya, unit PLTMH di Gayo Lues tidak lagi beroperasi karena tidak ada alokasi anggaran untuk menghidupkannya kembali,” ujarnya.

Munawir juga menyampaikam dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Dinas ESDM menolak penerapan Co-firing bagi PLTU di Aceh dan lebih memilih co-firing untuk PLTD.  Walhi sendiri bingung bagaimana penerapan co-firing untuk PLTD.

“Seharusnya ada keselarasan antara pernyataan dukungan transisi energi dengan realisasi kebijakan dan anggaran. Pemerintah perlu serius dalam menerapkan kebijakan yang mendukung energi bersih dan ramah lingkungan di Aceh,” jelasnya.

Menggugat Co-Firing sebagai Energi Bersih

Penerapan co-firing biomassa dicurigai hanya menjadi alasan untuk memperpanjang usia PLTU dan melanggengkan penggunaan batubara, sehingga pemain di sektor batubara tetap eksis meskipun porsi penggunaannya berkurang.

Label transisi energi yang disematkan pada praktik co-firing ini pun menimbulkan kontroversi dan dianggap jauh dari konsep transisi energi yang berkeadilan.

Direktur Apel Green, Syukur Tadu, menyebut pembakaran cangkang sawit, penambangan batu bara, dan pemanfaatan Tanaman Hutan Energi (HTE) justru meningkatkan emisi karbon. Ia menilai co-firing sebagai solusi palsu untuk menyelamatkan bumi dari emisi. “Hal ini akan memperpanjang penderitaan warga sekitar PLTU yang selama ini dirundung masalah kesehatan, gangguan terhadap ruang hidup, dan pekerjaan mereka akibat polusi,” jelasnya.

Syukur juga menegaskan bahwa PLTU harus memastikan semua biomassa yang digunakan tidak berasal dari kayu ilegal. Mengingat kebutuhan serbuk atau serpihan kayu yang tinggi, ada potensi terjadinya penebangan kayu ilegal, terutama di wilayah Sumber Panglong yang letaknya berdekatan dengan  Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Manajer Kampanye dan Advokasi Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga juga menilai biomassa tidak tepat sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia.  Berdasarkan data, pencapaian energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih sangat jauh dari target yang ditetapkan.

Pada tahun 2023, realisasi EBT hanya 12,5 persen, jauh di bawah target 17,9 persen. Apalagi, pemerintah berencana menurunkan target bauran energi terbarukan dari 23 persen pada tahun 2025 menjadi 19 hingga 22 persen, mengikuti perubahan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang tengah dibahas.

Di balik penurunan target ini, biomassa muncul sebagai salah satu prioritas utama untuk mencapai target yang lebih rendah dengan tren pertumbuhan yang sangat lambat 0,1 persen dari 2021 ke 2022 dan 0,2 persen dari 2022 ke 2023 Indonesia diperkirakan akan gagal mencapai target bauran energi 23 persen pada 2025.

Sebagai upaya untuk mengatasi kesenjangan ini, biomassa ditempatkan sebagai prioritas kedua setelah energi surya dalam RPP KEN. Biomassa, yang mencakup kayu, limbah pertanian, dan produk olahan kayu, dianggap sebagai alternatif energi terbarukan yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Namun, ada kekhawatiran serius terkait dampak lingkungan dari proyek biomassa ini. Potensi biomassa di Indonesia, yang berasal dari perkebunan kayu dan kelapa sawit, sangat besar, dengan luas areal mencapai 5 juta hektar untuk hutan tanaman industri dan 15,3 juta hektar untuk kelapa sawit.

Konsesi kehutanan menjadi lebih leluasa untuk memanfaatkan hutan alam dengan dalih transisi energi pemenuhan bahan baku biomassa kayu. Hal ini yang justru mempertajam ketimpangan penguasaan lahan dan memperburuk situasi kehidupan masyarakat adat.

Padahal dalam penelitian Trend Asia, untuk proyek co-firing biomassa 10% di seluruh PLTU yang dicanangkan pemerintah, membutuhkan lahan sebanyak 2,33 juta hektare, atau 35 kali luas DKI Jakarta. Potensi praktik buruk dalam pengadaan ini akan sangat besar.

“Deforestasi mengancam hutan alam karena tuntutan pemenuhan biomassa dari kayu melalui penyediaan hutan tanaman energi. Kebijakan transisi energi perlu dievaluasi agar lebih berkeadilan. Jadi, energi hijau seperti apa yang bisa diterapkan di Indonesia tanpa merusak hutan?” ujarnya.

Anggi juga menegaskan perlunya evaluasi apakah co-firing benar-benar dapat meningkatkan bauran energi nasional dan menjadi solusi terhadap perubahan iklim serta krisis lingkungan saat ini. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah juga diperlukan untuk memperkuat pengawasan implementasi transisi energi di daerah.

Menanggapi pernyataan sejumlah aktivis lingkungan yang menyebut co-firing sebagai solusi semu dalam transisi menuju energi terbarukan, pihak PLTU menegaskan komitmennya untuk mengurangi penggunaan energi kotor di Aceh. Sebagai eksekutor kebijakan pemerintah, PLTU terus berupaya untuk menekan dampak lingkungan melalui co-firing.

Meskipun belum pada skala besar, mereka mengklaim bahwa  upaya ini menunjukkan tekad PLTU dalam mendorong ekonomi kerakyatan. PLTU aktif mengembangkan partisipasi publik melalui pemanfaatan biomassa, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.

Menurut Anggi, dalam momen tahun politik, narasi greenwashing semakin kuat digunakan untuk melegitimasi penerbitan izin baru bagi Hutan Tanaman Energi. Dampak dari kebijakan ini tidak hanya menambah laju deforestasi, tetapi juga mengakibatkan perampasan lahan, memperburuk risiko bencana hidrologis, dan memperdalam konflik penguasaan lahan.

“Pemerintah belum mengambil langkah konkret dalam transisi energi, malah memperburuk keadaan. Sudah saatnya negara menyusun kebijakan yang benar-benar melindungi rakyat dan lingkungan,” tuturnya.

Penerapan co-firing di PLTU 1&2 Nagan Raya  sudah memasuki tahun keempat, namun realisasinya masih jauh dari target. Bahkan sekadar menjamin pasokan masih kelimpungan. Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan co-firing. Pemerintah harus serius untuk transisi energi menuju transisi energi yang bersih, adil, dan berkelanjutan. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER