Banda Aceh (Waspada Aceh) – Terkait data kemiskinan Aceh, selama ini Bank Indonesia (BI) sebagai Lembaga Negara menggunakan data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sesuai dengan kewenangan BPS yang diatur dalam Undang-undang.
“Terlepas dari adanya perdebatan mengenai besaran persentase angka kemiskinan yang dirilis BPS, saya melihat memang pekerjaan rumah bagi Pemerintah Aceh dan pemangku kepentingan (stakeholders) di Aceh masih banyak. Diantaranya dari sisi pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan. Ketergantungan ekonomi Aceh terhadap daerah lain masih cukup besar,” ungkap Teuku Munandar di Banda Aceh, baru-baru ini.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Aceh ini menambahkan bahwa sebagian besar kebutuhan masyarakat Aceh masih dipasok dari luar Aceh. Makanya tak heran neraca perdagangan antar daerah Aceh mengalami defisit sekitar Rp10 triliun hingga Rp11 triliun dalam 3 tahun terakhir.
Artinya, kata dia, Aceh lebih banyak membeli barang dari luar, dibandingkan dengan hasil produksi Aceh yang dijual ke luar.
“Fakta yang saya sampaikan semakin diperkuat dengan data perputaran uang yang dimiliki BI Aceh. Pada tahun 2018 lalu, tidak kurang dari Rp 3 triliun uang kartal yang dikeluarkan dari BI Aceh kepada perbankan dan masyarakat, tidak kembali lagi ke BI Aceh. Dari data ini dapat dikatakan bahwa uang tersebut kemungkinan besar telah beredar di luar Aceh, misalnya di Provinsi Sumatera Utara,” kata Teuku Munandar.
Kondisi ini menyebabkan besaran uang yang beredar di Aceh, baik bersumber dari APBA, APBN ataupun lainnya, tidak dapat memberikan dampak (efek multiplier) yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta pengentasan kemiskinan.
Selain itu, minimnya jumlah industri menengah dan besar di Aceh juga perlu mendapat perhatian, karena keberadaan industri erat kaitannya dengan penyediaan lapangan kerja yang juga akan berpengaruh dalam pengurangan penduduk miskin. Semakin banyak masyarakat yang bekerja, maka semakin menurun angka kemiskinan suatu daerah.
“Bila dicermati, fakta-fakta tersebut di atas mengkonfirmasi data yang menyebutkan bahwa kemiskinan di Aceh masih tinggi. Meskipun masih ada perdebatan dalam hal jumlah persentasenya.
Menyikapi permasalahan kemiskinan, saya melihat upaya Pemerintah Aceh dalam mengentaskan kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi sudah semakin baik dan menunjukkan ke arah yang positif,” tambahnya lagi.
Teuku Munandar menjelaskan bahwa angka kemiskinan terus mengalami penurunan, yang pada semester II-2018 lalu mencapai angka terendah sejah 18 tahun terakhir, yaitu sebesar 15,68%. Tingkat pengangguran terbuka juga terus menunjukkan perbaikan, yang setiap tahunnya turun dan terakhir pada semester II-2018 sebesar 6,36%, yang juga merupakan angka terendah dalam 18 tahun terakhir.
“Salah satu strategi pengentasan kemiskinan yang efektif adalah melalui pemberdayaan UMKM. Dalam hal ini saya mengamati bahwa Pemerintah Aceh sudah lebih concern terhadap pengembangan UMKM.”
“Keseriusan Pemerintah Aceh dalam memberdayakan UMKM sebagai sektor terbesar penyerap tenaga kerja terlihat dari diterbitkannya imbauan dari Plt. Gubernur Aceh untuk penggunaan produk lokal Aceh di berbagai event dan kegiatan SKPA atau instansi lainnya di Aceh,” ujar Teuku Munandar lebih lanjut.
Inisiatif dari Pemerintah Aceh itu akan menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan yang selama ini dihadapi oleh UMKM, yaitu akses pasar. Selain itu, keterbukaan Pemerintah Aceh dalam mendengar keluhan UMKM juga patut diapresiasi, sebagaimana yang dilakukan baru-baru ini oleh Plt. Gubernur Aceh dengan menggelar pertemuan bersama Industri Kecil dan Menengah (IKM) Aceh di NA Cafe Banda Aceh.
Melalui pertemuan seperti ini, diharapkan sumbatan-sumbatan yang selama ini menghambat kelancaran usaha IKM, dapat segera terselesaikan.
Berkembangnya UMKM akan memberikan dampak positif ke berbagai aspek, yaitu penciptaan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, bahkan hingga kepada pengurangan defisit transaksi berjalan Indonesia (Current Account Deficit) apabila produk UMKM nya berorientasi ekspor atau substitusi barang impor.
“Pada intinya saya berpandangan sebaiknya kita tidak perlu terlalu lama bergelut dengan polemik mengenai besaran angka kemiskinan di Aceh. Energi yang ada sebaiknya dicurahkan untuk memikirkan bagaimana kemiskinan di Aceh semakin menurun, dan rakyat menjadi lebih sejahtera dan barokah,” sebut Teuku Munandar.
Sesuai UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik, BPS merupakan lembaga yang memiliki kewenangan menyediakan kebutuhan data bagi pemerintah dan masyarakat, termasuk diantaranya data kemiskinan nasional dan daerah. Apabila dalam perjalanannya ada stakeholders yang merasa kurang yakin dengan data yang dipublish oleh BPS, maka menurutnya sah-sah saja.
“Jika ada pihak yang berpendapat berbeda dengan data BPS menurut saya sah-sah saja. Misalnya ada stakeholders yang meminta penjelasan dari BPS untuk menanyakan lebih detil mengenai metode yang digunakan, sampel datanya, atau hal lainnya yang berkaitan dengan data tersebut,” pungkas Teuku Munandar. (Ria)