Medan (Waspada Aceh) – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah I Medan tetap melanjutkan penyelidikan atas temuan 1,1 juta Kg minyak goreng di Kabupaten Deli Serdang, Sumater Utara, belum lama ini. Langkah ini berbeda dengan yang diambil Polda Sumut.
Penegasan itu disampaikan KPPU menyusul pernyataan terbaru Polda Sumut bahwa temuan di gudang PT SIMP bukan praktik penimbunan.
“Menanggapi permasalahan temuan 1,1 juta Kg minyak goreng di gudang milik PT SIMP yang dinyatakan bukan praktik penimbunan, masalah definisi dan kriteria penimbunan sesuai Perpres 71 tahun 2015 tentunya menjadi ranah pihak kepolisian,” kata Kepala Kanwil I Medan, Ridho Pamungkas, Kamis (24/2/2022).
Ridho mengatakan, KPPU sendiri masih akan mendalami apakah temuan tersebut terkait dengan penahanan pasokan dalam rangka mengatur harga sebagaimana diatur dalam UU No 5/99 atau tidak. Dari perspektif persaingan usaha, tindakan penimbunan atau menahan pasokan dapat efektif dalam rangka mengatur harga ketika pelaku merupakan penguasa pasar.
“Atau secara bersama-sama dengan pelaku usaha sejenis melakukan hal yang sama. Namun ketika harga HET sudah ditetapkan oleh pemerintah namun masih tetap terjadi penimbunan, maka kemungkinan ada alasan atau motif tertentu lain,” ujarnya.
Ternyata, fakta di lapangan, lanjutnya, terjadinya kelangkaan minyak goreng di pasar dan pendistribusian minyak goreng sesuai HET belum merata di sejumlah tempat. Hal tersebut dapat memicu berbagai perilaku pelaku usaha dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
“Di tingkat produsen misalnya, mereka akan lebih memilih untuk menyalurkan minyak gorengnya ke industri, karena untuk industri tidak ada ketentuan mengenai HET. Di tingkat distributor, mereka juga dapat saja memilih untuk menyalurkan ke industri untuk mendapatkan untung lebih besar. Di tingkat ritailer, beberapa pedagang ada yang memanfaatkan untuk menjual menjual minyak goreng dengan syarat tertentu, misalnya harus minimal belanja 300.000 atau dipaketkan dengan produk lain (tying atau bundling),” jelasnya.
Mengenai tying atau bundling, Ridho mengatakan bahwa bundling adalah suatu strategi pemasaran di mana produk dikelompokkan bersama menjadi dua atau lebih dalam satu kemasan penjualan dengan satu harga.
Sementara praktik tying adalah upaya yang dilakukan pihak penjual yang mensyaratkan konsumen untuk membeli produk kedua saat mereka membeli produk pertama. Atau paling tidak konsumen sepakat untuk tidak membeli produk kedua di tempat lain. Kedua perilaku tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU No 5/99.
“KPPU juga bersama pemerintah, satgas pangan, ombudsman dan stakeholder lain, berdasarkan kewenangannya masing-masing akan tetap melakukan pengawasan terhadap pendistribusian minyak goreng di masyarakat,” ungkapnya.
Ridho menuturkan, KPPU sendiri juga mengeritisi dan mengevaluasi apakah kebijakan pemerintah ini sudah sesuai dan tepat sasaran. Baik dari sisi cost and benefit, atau dari perspektif persaingan usaha yang sehat. Ridho berharap ada kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat menengah bawah dan UMKM yang saat ini kesulitan mendapatkan minyak goreng dengan harga HET.
“KPPU masih mendalami, karena kalau dalam perspektif KPPU, apakah ada keterkaitan dengan pelaku usaha lain dalam menahan pasokan. Untuk itu KPPU juga akan memeriksa PT SIMP dan jaringan distributor di bawahnya,” tegas Ridho. (sulaiman achmad)