Minggu, Mei 5, 2024
Google search engine
BerandaBagir Manan: Wartawan Jangan Terlena dengan Istilah Kemerdekaan Pers

Bagir Manan: Wartawan Jangan Terlena dengan Istilah Kemerdekaan Pers

Banjarmasin — Wartawan dan media massa jangan terlena dengan UU 40/1999 tentang kemerdekaan pers. Soalnya dalam UU itu, tidak pernah diatur secara jelas hukum pers, kata ahli hukum, Bagir Manan, dalam diskusi Publik KUHP Dalam Perspektif Kemerdekaan Pers, di Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Banjarmasin, Jumat (7/2/2020).

Mantan Ketua Dewan Pers ini mengingatkan, insan pers jangan terlalu menikmati kemerdekaan pers tapi lupa mengisi substansi kontennya.

“Seolah-olah jika wartawan dan pers akan diatur oleh hukum, maka wartawan acapkali bangga berlindung di UU Pers yang menyebutkan pers sepenuhnya pengaturan pers oleh pers sendiri. Jika tanpa ada UU pers akan terjadi ‘kebebasan’ menggunakan kekuasaannya. Padahal kekuasaan tanpa batas itu cenderung korup,” kata Bagir Manan yang juga pernah menjabat Ketua Mahkamah Agung RI tersebut.

Bagir Manan menyebut kemerdekaan pers harus mendapat perhatian, pertama perluasan cakupan tindak pidana yang dapat dikenakan pada pers. Kedua ancaman pidana yang lebih berat.

“Tidak jarang kita kehilangan kemerdekaan pers karena terlalu menikmatinya dan lupa memperjuangkan dan memeliharanya,” ujar Bagir Manan.

Dalam telaahnya, Bagir Manan mencatat ada 19 pasal di KUHP yang dapat menjerat pers ke ranah pidana dari hasil publikasinya yang terkait informasi kepada masyarakat.

Semua pasal itu, adalah peninggalan zaman Belanda, bersifat pasal-pasal karet (haatzai artikelen).

“Walau sebetulnya tidak ada pers delik, namun pers itu rawan terseret kasus pidana sebab tidak ada batasan yang jelas. Mulur mungkret pasal-pasal itu kan bisa ditafsirkan macam-macam. Misalnya pasal-pasal tentang, penyiaran berita bohong, Peniadaan dan Penggantian Ideologi Pancasila, Kehormatan, Harkat dan Martabat Kepala Negara dan Wakil Kepala Negara,” ungkapnya.

Bagir Manan menyarankan agar pers menjaga kemerdekaannya sendiri. Pertama, pers harus sadar sebagai pranata publik. Kedua, pers menjunjung tinggi etika. Ketiga, perluasan wawasan wartawan agar pers dapat menjadi agen pembangunan, mata publik, pengawas dan public Avant Garde. Keempat, pers harus memiliki hati nuraninya. (ril/Hendrata Yudha).

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER