Senin, April 29, 2024
Google search engine
BerandaAspek Indonesia Sebut UU Cipta Kerja Rugikan Buruh

Aspek Indonesia Sebut UU Cipta Kerja Rugikan Buruh

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia masih mengkritisi dan menyebutkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja merugikan para buruh di Indonesia.

Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, walaupun UU Cipta Kerja atau Omnibus Law telah disahkan pada Oktober 2020 masih banyak menuai kritik. Baik dari kalangan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), bahkan dari kalangan akademisi.

Alasannya tidak lain karena dianggap merugikan buruh dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD).

“Beberapa poin yang kami kritisi khususnya tentang UU Tenaga Kerja. Kami menolak keberadaan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law,” ucap Mirah Sumirat saat memberikan materi pada kegiatan Pelatihan Hak Pekerja Perempuan di Aula Hotel Kumala, Banda Aceh, Senin (19/12/2022).

Mirah melanjutkan, sedikitnya ada lima poin yang dianggap merugikan para pekerja. Pertama terkait status kerja. Dalam UU Cipta Kerja, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak.

Padahal, jelas pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibatasi dalam tiga tahun saja atau dua kali penandatanganan kontrak. Selebihnya silahkan perusahaan terkait mengangkat pekerja tersebut menjadi pegawai tetap atau PHK.

“Artinya ada kepastian, namun sekarang tidak ada kepastian sama sekali,” jelasnya.

Kedua, dalam UU Cipta Kerja upah juga menjadi persoalan, di mana dalam UU Cipta Kerja Upah Minimum Kabupaten (UMK) dihapuskan. Ketiga, dalam UU Cipta Kerja memudahkan tenaga asing masuk ke Indonesia. Beberapa persyaratan di dalamnya dihapuskannya seperti tidak diwajibkan berbahasa Indonesia dan tidak mesti memiliki keahlian tinggi.

“Dulu pekerja dari luar harus memiliki keterampilan yang tinggi atau keahlian yang tinggi tapi faktanya sekarang tidak ada lagi ketentuan itu. Sehingga kenyataannya di lapangan pekerja kasar juga didatangkan dari luar, seperti security, tukang masak, mandor, dan sejenisnya yang gajinya lebih besar tenaga asing dibandingkan dengan pekerja lokal,” jelasnya.

Keempat, dalam UU Cipta Kerja buruh rentan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan tidak mendapat pesangon. Kelima, jaminan sosial tidak ada atau nihil.

Semua yang disahkan dalam UU Cipta Kerja lanjut Mirah, tentu menjadi sebuah kekecewaan bagi pekerja buruh Indonesia. Melihat banyaknya poin-poin yang merugikan pekerja, pihaknya menginginkan peraturan tersebut dikembalikan saja kepada undang-undang sebelumnya.

Apalagi, sejak disahkan UU Cipta Kerja belum ada tanda-tanda dilakukan revisi. Apakah nantinya presiden mengeluarkan Perpu atau tidak, namun apabila dikeluarkan Perpu poinnya jangan sama saja dengan UU Cipta Kerja.

“Kalau Perpu tersebut dimunculkan, tapi ujung-ujungnya masih sama dengan UU Cipta Kerja sama saja bohong,” tegasnya.

Selain itu, dia juga meminta partai politik yang ada diparlemen, untuk mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Perpu yang tentunya lebih memanusiakan pekerja buruh.

Sementara itu, Direktur Eksekutif TUCC, Habibi Inseun, mengatakan tujuan dilakukan pelatihan ini agar pekerja perempuan berani untuk menyuarakan dan memahami hak pekerja perempuan. Karena tujuan bersama-sama serikat buruh selama ini ingin memperjuangkan pekerjaan yang layak, upah yang layak dan adanya jaminan sosial.

“Mudah-mudahan dalam pertemuan kali ini ada Komite Perempuan Aceh yang juga bisa membentuk dan menyiapkan langkah strategis terkait permasalahan pekerja perempuan,” tutupnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER