“…90% produksi minyak atsiri nilam dunia ada di Indonesia. Tetapi sayangnya yang menikmati justru Singapura. Karena yang menjual, yang mengolah itu Singapura”
Penulis: Teuku Cut Mahmud Aziz, S.Fil., M.A
Penulis sering mendengar cerita tentang kualitas komoditas nilam Aceh yang mendunia. Tapi cerita membanggakan ini belum seindah cerita keuntungan ekonomi yang didapat oleh petani nilam sendiri.
Walaupun bukan ahli pertanian atau ekonomi, karena keingintahuan, tidak salah penulis mencoba mengumpulkan beberapa literatur dan juga bertanya kepada yang ahli nilam.
Tanaman nilam (progestemon cablin benth) adalah kelompok tanaman penghasil minyak atsiri (patchouli oil) yang dikenal dengan minyak nilam. Minyak atsiri jenis nilam merupakan minyak atsiri yang paling terkenal dan primadona karena memiliki keunggulan.
Tulisan Terkait: Aceh Punya Nilam, Singapura Punya Nama (Bagian II)
Minyak ini belum dapat ditiru dalam bentuk sintetis. Harga di pasaran dunia cukup mahal sehingga berpotensi sebagai penghasil devisa negara kategori komoditas non migas (Disbun.jatimprov.go.id, 2013).
Indonesia merupakan pemasok utama minyak atsiri jenis nilam. Menurut data Market Study Essential Oils and Oleoresin (ITC), dalam per tahun Indonesia memproduksi minyak nilam mencapai 450 ton yang kemudian disusul Cina sekitar 50-80 ton, dari total produksi nilam dunia yang mencapai 500-550 ton per tahun. Dari data di atas terlihat bahwa Indonesia pemasok 90% kebutuhan minyak nilam dunia.
Jika dicermati dari data Bank Indonesia maka kebutuhan minyak nilam dunia berkisar antara 1.100 – 1.200 ton per tahun dengan pasokan per tahunnya kurang lebih 900 ton. Dengan melihat selisih antara kebutuhan dan pasokan per tahun maka masih terbuka peluang pasar kurang lebih 200 ton per tahun (Kemenperin.go.id dalam 2nd Seminar Nasional IPTEK Terapan (SENIT) 2017 dan Bi.go.id).
Keberuntungan lainnya, adalah dari 70 jenis minyak atsiri yang beredar di pasaran dunia, 40 jenisnya terdapat di Indonesia. Namun baru minyak atsiri jenis nilam dan sereh wangi yang diproduksi secara komersial (Perkebunannews.com, 2018).
Provinsi penghasil minyak nilam di Indonesia, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat. Produksi dari daerah-daerah inilah yang menguasai 80 hingga 90% pasaran nilam dunia.
Bila diamati dari luas lahan perkebunan rakyat maka Sumatera Barat yang terluas lahannya, sementara dalam hal produksi maka Provinsi Aceh yang terbanyak produksinya, yang diperkirakan mencapai 645 ton. Selain jumlah produksi, Provinsi Aceh terkenal dengan kualitas nilam terbaik di dunia dengan salah satu unggulannya, yaitu varietas Tapaktuan.
Kualitas minyak nilam dipengaruhi rendemen (kandungan zat minyak) 2,5 hingga 3,3%, sedangkan rata-rata nilam di dunia hanya mencapai 2,5%. Hal ini berdasarkan hasil penelitian tim peneliti dari Bogor. Produksi nilam Aceh tersebar di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Sabang (Data Tahun 2017 dalam Ditjenbun.pertanian.go.id 2015-2017 dan Tribunnews.com, 2011).
Negara utama pengekspor minyak nilam adalah Indonesia, Cina, Filipina, Malaysia, Brazilia, Paraguai, dan Madagaskar. Sedangkan negara pengimpor adalah Amerika dan Singapura yang disusul Prancis, India, Belanda, Inggris, Jerman, Swiss, Australia, Cina, dan Spanyol.
Minyak nilam yang diekspor dalam bentuk yang telah dimurnikan (kejernihannya seperti minyak malinda) atau dalam bentuk minyak atsiri kasar (berwarna kecoklatan). Di negara pengimpor terutama Singapura, minyak ini diolah, dimurnikan kembali, dan digunakan sebagai bahan dalam industri kosmetik, tren mode, aromaterapi, dan farmasi, serta bahan pengikat dalam industri parfum.
Minyak nilam juga dapat diolah menjadi minyak rambut, sabun, saus tembakau, obat herbal peradangan tubuh seperti infeksi kulit atau iritasi, arthritis dan gout. Hasil olahan ini yang kemudian diekspor ke sejumlah negara termasuk ke Indonesia.
Kenyataan ini menunjukkan, betapa besar keuntungan berlipat yang diperoleh Singapura, apalagi minyak atsiri yang mereka beli dari Indonesia, termasuk dari Aceh, dalam kisaran harga yang rendah. Kita mengalami defisit 3-5 kali lipat dari nilai ekspor.
Mantan Duta Besar RI untuk Swiss, Djoko Susilo pernah mengatakan dalam satu diskusi di Bogor pada 17 Mei 2014, “…90% produksi minyak atsiri nilam dunia ada di Indonesia. Tetapi sayangnya yang menikmati justru Singapura. Karena yang menjual, yang mengolah itu Singapura.” (Finance.detik.com, 2014). (Tulisan Pertama dari Dua Tulisan)
- Dosen Prodi HI FISIP Universitas Almuslim
- Penerima Hibah Riset & Anggota Tim Market Intelligence BPPK Kemlu RI Tahun 2018
- E-Mail: [email protected]