Pemerintah Aceh menyatakan bahwa Blang Padang merupakan tanah wakaf milik Masjid Raya Baiturrahman
Senin sore (30/6/2025), suasana Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, ramai oleh warga yang berolahraga, anak-anak bermain di wahana permainan, dan para pengunjung menikmati sajian kuliner.
Lalu lalang kendaraan mengitari lapangan itu, menyerupai alun-alun kota yang hidup di tengah jantung ibu kota provinsi.
Blang Padang bukan sekadar ruang terbuka publik. Lapangan seluas sekitar delapan hektare di kawasan Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh ini menyimpan sejarah panjang Aceh dan Indonesia.
Dari era kolonial Belanda, kini menjadi lokasi berdirinya monumen replika pesawat Dakota RI-001 Seulawah, sebagai sejarah penerbangan nasional yang lahir dari sumbangan rakyat Aceh demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Selain menjadi saksi perjuangan bangsa dari Aceh, Blang Padang juga menyimpan memori kolektif masyarakat Aceh, terutama pasca tsunami 2004.
Namun akhir-akhir ini, keberadaan sebuah plang bertuliskan “Tanah Hak Pakai TNI AD CQ Kodam IM” yang berdiri tepat di depan Museum Tsunami Aceh, memicu pertanyaan dan polemik di tengah publik.
Status lahan, Pemerintah Aceh menyatakan bahwa Blang Padang merupakan tanah wakaf milik Masjid Raya Baiturrahman. Wakaf tersebut diberikan pada masa Kesultanan Aceh oleh Sultan Iskandar Muda.

Namun, di sisi lain, TNI Angkatan Darat melalui Kodam Iskandar Muda menyebut memiliki mandat dari Kementerian Keuangan untuk menggunakan lahan itu sebagai aset negara.
Terkait ini, Gubernur Aceh Muzakir Manaf bahkan telah menyurati Presiden Prabowo Subianto. Dalam surat bernomor 400.8/7180 tertanggal 17 Juni 2025 itu, Mualem sapaan Sang Gubernur, meminta agar tanah tersebut dikembalikan statusnya sebagai wakaf milik Masjid Raya Baiturrahman (MRB).
“Tanah ini secara hukum Islam dan adat Aceh terbukti merupakan tanah wakaf, yang pengelolaannya sepatutnya dikembalikan kepada nazhir wakaf Masjid Raya Baiturrahman,” tulisnya.
Mualem menyebut penguasaan Kodam IM selama 20 tahun terakhir dilakukan secara sepihak tanpa dasar hukum sah.
Ia meminta empat hal dalam surat tersebut: pengembalian status tanah sebagai wakaf MRB, pengembalian pengelolaan kepada nazhir masjid, fasilitasi sertifikasi tanah wakaf, serta mediasi antarinstansi secara transparan dan bermartabat.
Sementara itu, Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Kolonel Inf Teuku Mustafa Kamal, menegaskan bahwa TNI AD tidak mengklaim memiliki tanah Blang Padang.
“Kodam IM hanya diberi mandat untuk mengelola lahan itu,” ujarnya, Senin (30/6/2025).
Ia merujuk pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-193/Km.6/WKN.01/KNL.01/2021, yang menyatakan bahwa tanah Blang Padang merupakan aset negara dengan status hak pakai untuk Kodam IM. Terkait surat dari Gubernur Aceh, pihaknya menyebut tidak dapat mengambil keputusan dan akan menunggu arahan pimpinan lebih lanjut.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Dr. M. Jafar, menilai bahwa sengketa ini perlu diselesaikan dengan melihat secara utuh aspek historis dan yuridisnya.
Menurut Jafar, sertifikat bukti kepemilikan terkuat dalam hukum pertanahan. Namun, dalam kasus Blang Padang, baik Masjid Raya Baiturrahman maupun TNI AD tidak memiliki sertifikat atas tanah tersebut.

“Tanah itu hanya dicatat sebagai aset oleh dua pihak: pemerintah pusat melalui TNI AD dan Pemerintah Aceh,” kata Jafar.
Meski tanpa sertifikat, ia menyebut bahwa bukti sejarah memiliki kekuatan hukum untuk mengurus status tanah sebagai wakaf. Harus memperhatikan riwayat keberadaan Blang Padang.
Ia merujuk pada arsip kolonial Belanda dan buku Van Langen yang menyebut secara eksplisit bahwa Blang Padang diwakafkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk Masjid Raya.
“Dari awal, tanah Blang Padang diwakafkan untuk kepentingan operasional masjid,” ujarnya.
Pemerintah Aceh, lanjutnya, bahkan telah mengirim tim ke Belanda untuk menelusuri arsip sejarah. Hasil kajian menyimpulkan bahwa status wakaf tanah itu tidak pernah berubah hingga kini.
Karena itu, menurut Jafar, langkah Pemerintah Aceh yang menyurati Presiden RI merupakan jalan tepat. Polemik ini, kata dia, seharusnya mendorong pemerintah pusat untuk segera mengambil langkah tegas guna menyelesaikan sengketa secara adil, mengacu pada asal-usul dan fungsi sosial tanah tersebut. (*)