Ternyata, di dalam jiwa para keturunan itu tetap ada “rasa,” di mana seluruhnya atau sebagian mereka ingin tetap atau kembali menjadi Indonesia.
———
Catatan Dr.Wiratmadinata
Tanah airku tidak kulupakan,
Kan terkenang selama hidupku,
Biar pun saya pergi jauh,
Tidak kan hilang dari kalbu,
Tanahku yang kucintai,
Engkau kuhargai…
Cuplikan syair di atas itu, adalah lantunan lirik lagu “Tanah Airku” karya Ibu Soed, yang merupakan salahsatu lagu nasional Indonesia. Nadanya menggema di seantero nusantara, dari Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua.
Irama melankolis lagu itu membentang merambat melalui gelombang sinyal televisi pada jutaan rumah, kedai kopi, lapangan terbuka, dan berbagai tempat yang menyiarkan langsung pertandingan Tim Nasional (Timnas) Indonesia, setiap melawan kesebelasan asing yang bertandang ke Gedung Olahraga Bung Karno (GBK), yang juga merupakan markas PSSI (Persatuan Sepak Bola Indonesia).
Dari sanalah lantunan gemuruh lagu itu berasal; dari 80 ribu lebih penonton yang sedang merayakan “keindonesiaan” mereka, merayakan kebangsaan mereka, dan juga merayakan kebahagiaan mereka. Karena saat itu adalah momen mereka kembali bisa bangga menjadi bangsa yang bernama Indonesia.
Unik dan mengagumkan, melihat ribuan warganegara biasa, yang begitu mencintai sepak bola, datang ke GBK untuk mendukung kesebelasan Timnas sepak bolanya. Namun tanpa sadar justru mereka sedang merajut kembali sesuatu yang sangat penting, yaitu satu rasa; rasa ke-indonesiaan.
Ya, rasa keindonesiaan yang selama ini nyaris hilang, ditelan kekecewaan demi kekecewaan, karena para pemimpin bangsanya gagal memberikan kebanggaan kepada mereka sebagai satu bangsa. Selama ini, mereka mulai apatis terhadap negara dan bangsa, akibat kebohongan-kebohongan politik, dan kemunafikan para politisi yang telah memberikan mereka harapan-harapan palsu.
Tapi setidaknya untuk sejenak, di GBK, mendadak mereka kembali bangga menjadi sebuah bangsa dan sebuah negara yang besar, yang merindukan kebesaran dan kemuliaannya. Mendadak mereka melupakan semua duka derita sehari-hari, dan menemukan makna menjadi sebuah bangsa; Bangsa Indonesia.
Euforia dan fenomena ini dengan mudah kita rasakan bersama-sama dalam hampir satu tahun terakhir, ketika Timnas Indonesia, berhasil memasuki zona kualifikasi Piala Dunia (World Cup) untuk wilayah Asia, bersama negara-negara sepak bola besar lainnya di benua dan kepulauan terbesar di dunia ini; Asia.
Dari wilayah ini, Timnas Indonesia sekarang telah menjadi “tim elit,” karena sanggup bersaing dengan beberapa negara yang sudah menjadi langganan peserta Piala Dunia, antara lain; Jepang, Korea Selatan, Australia, Saudi Arabia, Uzbekistan dan Iran.
Dalam sejarah sepak bola dunia, Timnas Indonesia pernah menjadi tim Asia pertama yang berkompetisi di ajang Piala Dunia FIFA pada tahun 1938, atas nama negara Hindia Belanda (sebelum kemerdekaan).
Dan layaknya mimpi yang telah lama mati, hari ini harapan untuk ikut serta dalam kejuaraan dunia sepak bola kembali terbuka. Akankah mimpi yang telah lama mati ini, akan mekar kembali? Entahlah, waktu yang akan membuktikan.
Kembalinya Timnas Indonesia ke jajaran tim elit sepak bola Asia, memang tidak terlepas dari program Naturalisasi (perubahan kewarganegaraan dari WNA menjadi WNI), para pemain sepak bola keturunan atau berdarah campuran Indonesia, agar dapat membela Indonesia dalam pertandingan-pertandingan antar-negara.
Kebetulan, banyak sekali pemain berdarah Indonesia di Eropa di mana kakek-neneknya pernah jadi warganegara Indonesia, meskipun sekarang tinggal di luar negeri; khususnya Belanda. Dengan kondisi itu menjadi mudah bagi Indonesia untuk merekrut para pemain Eropa keturunan Indonesia ini menjadi WNI.
Selain karena hal itu dibenarkan oleh peraturan FIFA, sebagai otoritas tertinggi sepak bola dunia, juga adanya antusiasme yang tinggi dari pihak keluarga serta para pemain keturunan itu sendiri, untuk pulang ke Indonesia dan menjadi WNI.
Memang ada naturalisasi tanpa faktor darah, tapi karena faktor sudah lama di Indonesia, atau karena kakek, nenek atau orang tua mereka lahir serta jadi warga negara Hindia Belanda, sebelum Indonesia merdeka. Apa yang kita bicarakan di sini adalah soal “rasa”.
Ternyata, di dalam jiwa para keturunan itu tetap ada “rasa,” di mana seluruhnya atau sebagian, mereka ingin tetap atau kembali menjadi Indonesia. Dan naturalisasi adalah momennya.
Beruntung bagi PSSI yang akhirnya memanfaatkan peluang ini untuk mengembangkan program naturalisasi sebagai pendekatan jangka pendek guna menaikkan derajat sepak bola Indonesia. Melalui naturalisasi, PSSI berniat dengan cepat mengangkat level permainan Indonesia, hingga setara dengan Eropa dan tim piala dunia lainnya di Asia.
Naiknya level permainan Timnas Indonesia hingga ke kualifikasi Piala Dunia zona Asia dalam waktu yang relatif cepat, merupakan bukti keberhasilan program naturalisasi.
Setelah dilakukan asimilasi di lapangan, terlihat dengan jelas, kualitas pemain-pemain yang bukan naturalisasi dan bukan berdarah campuran ternyata bisa sejajar dengan pemain-pemain naturalisasi jebolan Eropa. Sebut saja nama Marcelino Ferdinand; penyerang Timnas yang mampu menjebol 2 gol ke gawang Arab Saudi, di saat-saat Indonesia, posisinya sedang krisis dalam klasemen grup C bersama raksasa Jepang, Australia, Arab Saudi, Cina dan Bahrain.
Selain itu nama Rizky Ridho, tak kalah mentereng saat bermain bersama Ivar Jenner, Jay Idzes, Calvin Verdonk dan pemain-pemain lainnya di pertahanan dan lapangan tengah, yang sudah memiliki kualifikasi pemain Eropa.
Rencananya, dalam jangka panjang para pemain non-naturalisasi ini, akan belajar mengadopsi budaya dan teknik sepak bola Eropa. Semoga dengan demikian, akhirnya budaya sepak bola Indonesia bisa menyamai Eropa.
Caranya; mulai meninggalkan budaya “tarkam” (sepak bola antar-kampung), yang dipenuhi perkelahian, tendangan kungfu, serta jurus mematahkan kaki lawan dan sejenisnya, yang membuat sepak bola Indonesia selama ini berada di titik nadir. Benar-benar kampungan.
Akhirnya setelah PSSI di bawah pimpinan Erick Thohir, program Naturalisasi ini semakin digencarkan. Kalau naturalisasi disebut sebagai pendekatan jangka pendek, maka untuk jangka panjang, menurut mantan Presiden Klub Eropa asal Italia Intern Milan itu, reformasi atas sistem liga di Indonesia juga akan diperbaiki, bersamaan dengan perbaikan sistem rekrutmen serta pendidikan sepakbola sejak dini.
Seiring dengan upaya itu, Shin Tae Yong (STY) yang sudah dikontrak melatih Timnas hingga 2027, juga telah mendirikan Akademi Sepak Bola di Indonesia, yang akan menjadi salahsatu media rekrutmen pemain masa depan Indonesia.
Bahkan dalam waktu yang singkat, STY mulai memasang nyaris 90 persen pemain lokal dalam kompetisi Piala Asia Tenggara (AFF). STY dan Erick Thohir hanya memasang Raphael Struick, Ivar Jenner dan Justin Hubner dari Timnas senior yang main untuk Piala AFF. Tujuannya adalah untuk pembelajaran. Karena tim junior atau Garuda Muda ini disiapkan mental, skill dan jam terbangnya dalam jangka panjang; terutama untuk mengikuti SEAGAMES , atau saat nanti terjadi alih-generasi dengan Timnas senior, yang saat ini masih didominasi pemain yang merumput di Eropa.
Sebenarnya, ini adalah strategi cemerlang yang efektif, sekaligus bisa dipertanggungjawabkan. Pada tahap awal harus menaikkan level prestasi di kancah dunia, lalu melakukan transisisi dan regenerasi pada tataran sepak bola level tinggi.
Sayangnya, di Indonesia, selalu saja ada kelompok nyinyir yang mengeritik pendekatan naturalisasi ini dengan alasan yang berbau “nasionalisme”. Tapi justru karena faktor inilah saya ingin menulis artikel ini.
Sungguh konyol, mereka yang mengrritik soal naturalisasi ini, justru selama ini bukanlah orang-orang yang getol bicara soal nasionalisme, maupun kebangsaan.
Sebut saja nama mereka, Tommy Welly (Towel), Fakhri Husaini, Rocky Gerung, Peter Gontha dan lain-lain. Entah mungkin karena faktor kecemburuan atau faktor kepentingan tersembunyi. Mereka mengeritik Timnas karena dipenuhi pemain naturalisasi, sehingga mengurangi “rasa” Indonesianya. Kuat sekali aroma ketidaksukaan mereka pada STY, dan ingin cepat-cepat menggantinya.
Memang sejak STY jadi pelatih kepala dan Erick Thohir, jadi Ketua PSSI, mereka getol membasmi mafia bola, dan KKN dalam rekrutmen pemain. Apakah ini yang jadi sumber kebencian? Entahlah.
Tentang nasionalisme; para pengeirtik ini entah lupa atau pura-pura lupa, bahwa justru karena penampilan Timnas Indonesia yang sudah luar biasa itulah, nama Indonesia kembali terangkat secara internasional. Seakan-akan bola telah menjadi simbol kebangkitan Indonesia, sehingga bisa lolos ke babak ketiga zona Asia kualifikasi Piala Dunia.
Dari sanalah, perasaan ke-Indonesiaan itu mulai kembali tumbuh dan mekar dalam simbol-simbol yang nyata. Seiring dengan menguatnya dukungan fans sepak bola nasional itulah, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan lagu Nasional “Tanah Airku” kembali gegap gempita dinyanyikan di GBK dan menular ke seluruh Indonesia.
Seluruh warga yang hadir di GBK seakan-akan mewakili perasaan 285 juta rakyat Indonesia. Mereka lebur dalam nyanyian Indonesia Raya yang menggelegar, saat giliran lagu kebangsaan Timnas Indonesia dikumandangkan. Tidak ada lagi sekat-sekat suku bangsa, karena Indonesia adalah “melting pot,” wadah peleburan ratusan suku-bangsa besar dunia di Nusantara.
Jika kita amati benar-benar, bahkan di rumah-rumah, di kafe-kafe atau pun di lapangan, di mana warga dengan antusias menyaksiakan siaran langsung Timnas, sejenak nasionalisme marak kembali. Mereka ikut bernyanyi walau tidak hadir langsung di GBK. Mereka juga mengibarkan sangsaka Merah-Putih dan melambai-lambaikan sepanjang permaianan.
Untuk sejenak, mereka kembali bangga menjadi Indonesaia; nasionalisme yang konon telah lama mati pun, kini kembali bersemi. Dulu orang tidak mau menonton Timnas karena permainanya jelek, banyak pemain titipan, mentalitas bertarungnya juga lemah, dan sama sekali tidak memiliki mental juara.
Sekarang, tanpa mau mempersoalkan wacana “nasionalisme palsu” yang disuarakan Towel, Fakhri Husaini, Peter Gontha dan lain-lain. Semua fans Timnas lebur dalam perasaaan “keindonesia rayaan” melalui lagu kebangsaan yang mungkin sudah sangat lama tidak mereka nyanyikan serempak dengan puluhan ribu orang sekaligus, dan jutaan orang di lokasi “nobar” masing-masing.
Kita juga menyaksikan fakta, para pemain keturunan yang bersedia pulang lagi ke Indonesia, menjemput “rasa” sebagai orang Indonesia, justru bertarung mati-matian atas nama negara dan bangsa Indonesia. Mereka mengorbankan banyak hal untuk bisa menyanyikan lagu kebangsaan“Indonesia Raya” dengan Lantang, bahkan mendendangkan lagu “Tanah Airku” dengan mata basah penuh keharuan.
Bagi para pendukung Timnas Indonesia, rasa ke-Indonesiaan, dalam “Bhineka Tunggal Ika,” yaitu spirit keberagaman agama, bahasa, ras dan suku, sudah tidak lagi relevan. Primordialisme ras dan suku sudah mereka kuburkan atas nama Indonesia, negeri tempat di mana keturunan semua bangsa hidup dan berkarya.
Rasanya hanya manusia-manusia berpikiran picik, primordialis, kampungan dan penuh nnegativisme yang mempersoalkan soal keturunan. Bangsa Indonesia itu majemuk dan tidak dibentuk oleh ras tunggal, melainkan percampuran berbagai macam ras yang ada di atas dunia ini; Melayu, Eropa, Arab, Cina, India, dan lain-lain.
Coba cek, jangan-jangan Anda pasti salah satu turunannya. Akhirnya, sebagai bangsa kita bisa belajar tentang nasionalisme Indonesia dari lapangan rumput, di mana sepakbola dimainkan sebagai pelipur lara bangsa. Merdeka! (*)
- Penulis: Dr.Wiratmadinata, S.H., M.H adalah dosen, penulis buku “Paradigma Negara Hukum Pancasila,” dan penggemar sepak bola.