Banda Aceh (Waspada Aceh) – Mantan General Manager (GM) Pertamina Rantau, Aceh Tamiang, Ridwan Nyak Baik mengingatkan, dalam mengelola Minyak dan Gas (Migas), Badan Pengelola Minyak dan Gas Aceh (BPMA) jangan tersandera oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 23 tahun 2015, tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
Ridwan Nyak Baik menyampaikan hal itu saat berkunjung ke Kantor Harian Waspada Perwakilan Aceh, di Banda Aceh, Sabtu (3/6/2023). Pria kelahiran 1951 di Sigli, Pidie, itu menyayangkan dalam mengelola Migas Aceh, peran BPMA yang lahir berdasarkan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA), selama ini dinilai masih belum optimal.
Menurut Ridwan, memang pada Pasal 1 poin 22 disebutkan; Badan Pengelola Migas Aceh yang selanjutnya disingkat BPMA adalah suatu badan Pemerintah yang dibentuk untuk
melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 s.d. 12 mil
laut).
Walau ada pembatasan 0 – 12 mil laut, menurut Ridwan, sebenarnya Pemerintah Aceh tetap memiliki kewenangan di atas 12 mil laut, sepanjang masih berada di perairan laut Provinsi Aceh.
Hal itu juga tercantum dalam pada Pasal 3 (3); Dalam rangka pengawasan dan pemantauan produksi Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kontraktor yang Wilayah Kerjanya berada pada 12 sampai dengan 200 mil laut dari wilayah kewenangan Aceh wajib menyampaikan laporan produksi Minyak dan Gas Bumi secara berkala kepada Gubernur.
Ridwan melanjutkan, yang namanya pengelola, BPMA harus ikut terlibat merencanakan, melakukan pengawasan dan aktivitas lainnya terkait migas di Aceh. Karena jika dilihat dari sisi regulasi, posisi BPMA cukup tinggi karena dibentuk melalui PP berdasarkan UUPA, berbeda dengan SKK Migas yang dibentuk melalui Kepres.
“Cuman memang SKK Migas lebih besar karena dia mengelola seluruh Indonesia. Tapi dia hanya mengawasi dan memanajemen,” kata Ridwan yang telah memulai kariernya di perusahaan minyak sejak 1975.
BPMA menurut Ridwan harusnya lebih progresif jangan menerima begitu saja, karena sesuai amanat MoU Helsinki, semua laut yang ada di Aceh milik pemerintah dan diawasi oleh Pemerintah Aceh. Hasilnya juga dikelola oleh Pemerintah Aceh, lanjutnya.
Potensi Migas Aceh Cukup Besar
Pemerhati Migas Aceh ini juga menyebutkan, Aceh mempunyai potensi Migas yang besar untuk dikembangkan, baik sekarang maupun masa depan.
Ridwan yang terlibat dalam tim penyusun kebijakan Migas Aceh di masa Gubernur Zaini Abdullah, menyebutkan alasannya, karena selama 30 tahun konflik berlangsung di Aceh, tidak ada aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas.
“Belum ada yang melakukan eksplorasi selama masa konflik, jadi untuk daerah barat Indonesia migas Aceh masih perawan dibandingkan provinsi lain di Sumatra,” kata Ridwan yang juga pernah menjabat Corporate & Strategic Communication Specialist di PT Pertamina (Persero) tersebut. (*)