“Iwan, kamu harus lindungi Bahtiar. Kalau wartawan selamat, dia akan bercerita ke dunia. Kalau kita meninggal itu sudah menjadi tugas kita sebagai abdi negara,” sebut AKP Darussalam, yang ketika itu menjabat Kasat Lantas Aceh Tengah.
“Siap Dan,” jawab Brigadir Iwan Abadi, anggota Lantas Aceh Tengah yang menjadi sopir mobil pikup patroli Lantas. Kemudian Darussalam menggenggam pistolnya. Demikian dengan Iwan, dia juga sudah menyiapkan “istri” keduanya itu, sebutan untuk senjata yang harus seltu alu melekat di tubuhnya.
Apalagi saat itu kami memasuki daerah rawan. Kawasan yang sering dijadikan medan pembantaian. Mayat manusia sering dibuang di kawasan itu. Area yang kerap menjadi lokasi untuk penghadangan, mau tak mau di sini sering terjadi kontak senjata.
Bur Lintang, terletak di kawasan Kecamatan Pegasing dan Linge Aceh Tengah, menjadi daerah yanv angker kala itu. Tempat ini kerap sebagai lokasi pembuangan mayat dan medan pertempuran mematikan antara pasukan TNI dengan GAM. Saat melintasi ruas jalan di daerah ini, raut wajah Kasat Lantas terlihat tegang.
Pistol di tangannya sudah dia genggam erat, siap menembak kapan saja. Sementara Iwan Abadi, sang sopir mobil patroli, terlihat konsentrasi penuh dan menjaga sikapnya tetap tenang. Pikirr saya dalam hati, “mereka ini abdi negara yang tulus, sampai rela menantang maut”.
Semua pengalaman saya ketika konflik Aceh, sebenarnya sudah “kubur” dalam-dalam. Termasuk perjalanan saya dengan Kasat Lantas dan Brigadir Iwan. Kini Brigadir Iwan berpangkat Aiptu, bertugas di Polsek Bintang, Aceh Tengah. Namun entah mengapa, hari ini – menjelang Milad (Hari Ulang Tahun) GAM, pengalaman tegang dengan Kasat Lantas yang sudah pensiun ini hadir kembali dalam benak saya.
Saya telepon Iwan Abadi yang bertugas di Polsek Bintang.” Iwan apa kamu masih ingat perjalan kita ke SMA Jagong saat konflik?” “ Ya Allah bang,” balas Iwan di seberang sana.
“Merinding bulu kuduk saya ketika abang tanya soal itu. Mana mungkin saya lupa bang. Tugas saya menyelamatkan abang,” sebutnya dengan nada sedikit gemetar.
Tujuan kami ke Jagong ketika itu untuk bertemu para guru dan murid. Ternyata kami sudah ditunggu oleh dewan guru dan siswa SMA. Perjalan ini juga terjadi karena saya mau ikut. “Kalau kamu enggak pergi, kunjungan ke Jagong tidak akan saya lakukan,” kata Darussalam.
“Kalau kamu pergi, ketika ada kejadian di lapangan, kami meninggal, kamulah harapan kami untuk menceritakan kepada dunia. Bagaimana kami menjalankan tugas dalam membantu siswa untuk mahir dalam PKS (Patroli Keamanan Sekolah),” sebut Darusalam.
Saya sempat terkejut. Namun dalam perjalanan kami kembali, saya lebih terkejut dibuatnya. Bukan hanya karena perintah Darussalam kepada Iwan untuk mengamankan saya, namun senjata yang mereka bawa hanya pistol. Tidak sebanding dengan senjata otomatis laras panjang yang biasanya dgunakan para penghadang.
Dalam perjalanan saya tunjukan kepada dua polisi ini. lokasi penghadangan tentara oleh pasukan GAM. Di aspal jalan masih terlihat lubang bekas hantaman peluru jenis AK. Bur Lintang memang menyimpan sejarah panjang terkait penghadangan dan kontak senjata. Saya tunjukkan juga lokasi pembantaian dan pembakaran mobil yang datang dari arah Blang Kejeren.
Alhamdulilah, kami selamat pulang dan pergi. Siswa dan guru SMA Jagong juga berdoa untuk keselamatan kami. Sesampainya di Lantas Polres Aceh Tengah, hari sudah sore. Ketika turun dari mobil, Kasat Lantas memeluk saya. “Alhamdulilah kita selamat,” ucapnya terbata-bata, ada air bening di matanya.
Saya perhatikan, raut wajah Iwan Abadi juga sama. Ada air mata yang menggenang. Kami berpelukan. Kenangan masa konflik itu, entah mengapa kini tiba tiba hadir kembali. Mungkin karena beberapa hari kedepan akan ada perhelatan yang akan dilaksanakan para mantan kombatan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). (Bahtiar Gayo)