Jakarta (Waspada Aceh) – Berhati-hatilah dalam memetik manfaat bermedia sosial, karena banyak “ranjau” yang bisa menjebloskan penggunanya ke penjara.
Masyarakat harus mengenali betul jenis-jenis pelanggaran undang-undang dan ancaman hukumanya. Masyarakat sudah dianggap tahu semua undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Untuk menghindari jeratan hukum itu, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) diminta turut mensosialisasikan UU ITE.
Demikian rangkuman pernyataan dua pembicara yang dihadirkan dalam diskusi Lingkar Merdeka-SMSI yang digelar secara hybrid, online dan offline di kantor pusat SMSI Jalan Veteran II, Jakarta Pusat, Rabu (8/6/2022).
Dua pembicara diskusi yang dihadirkan adalah Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Reda Manthovani, dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), Taufiqurokhman.
Hadir memberi sambutan pada pembukaan diskusi Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Firdaus. Hadir juga Ervik Ari Susanto, penasihat SMSI Pusat, dan sejumlah pengurus pusat dan provinsi serta Ketua Umum Forum Pemred Siber Indonesia, Bernadus Wilson Lumi.
Firdaus berpesan kepada para anggota SMSI agar menguasai UU ITE, untuk membekali diri sendiri dan keluarga agar tidak terjerat hukum ketika bermedia sosial.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Sekjen SMSI, Mohammad Nasir, Reda Manthovani memaparkan, berdasarkan riset Data Reportal menunjukkan jumlah pengguna media sosial mainstream, seperti You Tube, Whatsapp, Facebook, Instagram, Tik Tok, Facebook Messenger, twitter, di Indonesia jumlahnya mencapai 191,4 juta pada Januari 2022.
Meskipun demikian, kata Reda, media sosial ini dapat diibaratkan seperti “pedang bermata dua.” Sebab selain mendatangkan banyak manfaat, tetapi jika digunakan secara tidak bertanggungjawab yang sudah pasti akan berujung dengan persoalan hukum.
“Fakta menunjukkan tren kriminal saat ini bukan hanya korupsi, terorisme, narkotika, namun kasus-kasus yang turut mewarnai adalah berhubungan dengan teknologi internet dan media sosial. Termasuk kasus pencemaran nama baik lewat media sosial internet. Di samping pencemaran nama baik, termasuk pula perdagangan gelap, penipuan, pemalsuan, pornografi, SARA dan berita bohong,” tutur Reda.
Penggunaan media sosial, kata Reda, telah cukup banyak yang berujung pada permasalahan hukum. Reda memberi contoh Adam Deni dan Ni Made, dituntut 8 tahun penjara [melanggar Pasal 48 Ayat (3) jo Pasal 32 Ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 jo.UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian Buni Yani pernah divonis 1,5 tahun penjara [melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 jo.UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE]. Selain itu banyak lagi pengguna media sosial yang terjerat kasus hukum pelanggaran UU ITE.
Bahwa aktivitas di ruang virtual sebenarnya telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 19 Tahun 2016.
Mayoritas Wanita
Sementara itu Taufiqurokhman, mengutip Data Puskakom UI & KomInfo bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 Juta (34,9% dari total jumlah penduduk di Indonesia). Akses internet masyarakat Indonesia = 1 – 3 jam per hari (Telepon & Celluler: 85 %; Laptop/Notebook: 32 %; PC/Komputer: 14 %; Tablet 13 %). Mayoritas pengguna adalah wanita. Wanita 55 %; sedangkan pengguna laki-laki 45 %.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh PewCenter.org, sebagian besar anak telah menjadi korban penindasan maya di masa lalu. Hal ini dapat berpengaruh kepada perkembangan orang tersebut serta menimbulkan ketidaknyamanan.
Biasanya orang yang melakukan hal tersebut menggunakan akun palsu sehingga tidak diketahui. Melalui media sosial, seseorang dapat meretas data pribadi orang lain dan disebarluaskan di internet. Hal ini juga bisa dijadikan sebagai pencurian identitas yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain.
Media sosial bisa menyebabkan rasa candu kepada seseorang. Hal tersebut terkadang membuatnya melupakan dunia nyata sehingga berbagai hal terabaikan begitu saja. Oleh karena itu, seseorang yang kecanduan media sosial akan sangat mengganggu kehidupan pribadi mereka juga.
Dampak negatif media sosial lainnya, kata Taufiqurokhman, adalah malas berkomunikasi di dunia nyata, mengabaikan keterampilan menulis, mengeja dan lain-lain.
Membanggakan diri sendiri secara berlebihan atas apa yang dimilikinya (narsis), dan adanya garis pemisah antara kelas sosial atas dan kelas sosial menengah bawah. (ris).