Banda Aceh (Waspada Aceh) – Penangkapan ikan berlebihan, pencemaran laut dan krisis iklim menjadi ancaman besar terhadap kelestarian ekosistem kelautan. Perlu kerja kolaborasi dan upaya serius untuk menangani masalah tersebut.
Koordinator Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution, mengungkapkan hal itu dalam Fokus Grup Diskusi (FGD) bertajuk, “Identifikasi Isu Sektor Kelautan dan Upaya Sinergi Liputan Media,” yang digagas Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh bersama Greenpeace Indonesia di Banda Aceh, Selasa (18/1/2022).
Diskusi tersebut membahas rencana aksi FJL Aceh terkait advokasi dan kampanye isu kelautan di Aceh untuk tahun 2022. Peserta diskusi antara lain lembaga swadaya konservasi kelautan, panglima laot Aceh, akademisi, dan mahasiswa kedokteran Unsyiah.
Koordinator Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution mengatakan, ada tiga hal yang harus dijadikan fokus dalam isu kelautan, yaitu penangkapan ikan berlebihan, masalah krisis iklim, dan pencemaran lingkungan laut.
Penangkapan ikan berlebihan menjadi persoalan serius karena dapat mengancam populasi ikan. Penangkapan ikan berlebihan biasanya karena alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti pukat harimau dan pengeboman. Dampaknya yang ditangkap bukan hanya ikan besar, namun juga ikan kecil (anakan).
“Isu pesisir masih sedikit diadvokasi media. Oleh karena itu, forum seperti penting untuk membedah persoalan dan mencari pola advokasi bersama,” kata Arifsyah.
Persoalan pencemaran laut menjadi isu global karena telah mengancam kelestarian ekosistem. Terumbu karang rusak, benih ikan mati, dan peraian tercemar dengan zat kimia berbahaya.
Perairan Aceh tidak dapat dipisahkan dari ekosistem perairan internasional. Oleh karena itu, upaya menjaga ekosistem laut harus dilakukan di semua negara.
Ketua FJL Aceh, Zulkarnaini Masry, mengatakan, perlu peningkatan pemahaman isu kelautan kepada jurnalis di Aceh agar laporan jurnalis lebih mendalam dan konprehensif. Forus diskusi tersebut menjadi bagian dari upaya peningkatan kapasitas jurnalis Aceh untuk memahami isu kelautan.
“Sebelumnya FJL Aceh sering melakukan advokasi isu forest dan spesies. Melalui FGD ini, kita ingin tahu lebih dalam terkait isu kelautan,” kata Zulkarnaini.
Di samping itu, kata dia, jurnalis masih kekurangan data untuk mepublikasi terkait isu kelautan. Sebab itu, jurnalis perlu data dari LSM, akademisi, dan pemerintah dalam mendukung pemberitaan isu kelautan.
Acting Programme Manager Flora Fauna Indonesia (FFI) Aceh, Teuku Youvan, menyebutkan, isu kelauatan harus terus dikawal sebab kelestarian laut menjadi kepentingan bersama.
“Kemitraan ini harus dibangun dan diperkuat. Semua pihak harus berkolaborasi sehingga memudahkan media dalam mempublikasi dan melakukan advokasi,” kata Youvan.
Perwakilan Sahabat Laut Aceh, Crisna Akbar, mengatakan, media juga harus mempublikasi potensi kelautan Aceh. Sehingga dapat mendongkrak perekonomian masyarakat.
“Kita berharap identifikasi potensi. Misalnya, di Aceh Jaya, pengembangan monitoring dan mengembangkan konservasi berbasis wisata, itu harus bisa disampaikan,” pungkas Crisna.
Crisna menjelaskan, ada zona-zona konservasi bisa dimanfaatkan kegiatan wisata dan lain sebagainya.
“Sehingga berita tidak melulu tentang masalah, tapi ada beberapa potensi yang harus dipublish. Sehingga dapat mendongkrak ekonomi masyarakat pesisir,” tuturnya.(Cut Nauval d)