“Kita minta bantuan akademisi atau peneliti mencari solusi atau metode lain untuk permasalahan gulma (tumbuhan pengganggu) ini, agar petani tidak menggunakan pestisida yang bisa mencemari buah kopi”
— Kadisperindag Aceh, Mohd Tanwier —
Komoditi kopi selama ini telah menentukan denyut perekonomian masyarakat di Dataran Tinggi Gayo. Karena itu, komoditi ini perlu dilindungi dari segala ancaman kerusakan, baik dari sisi kualitas produk mau pun keberlanjutannya.
Terpaparnya sebagian kopi Arabika Gayo dengan zat kimia yang disebut sebagai glifosat, sepertinya mengejutkan semua pihak. Kandungan kimia ini diketahui setelah kopi tersebut menjalani uji laboratorium international, saat sejumlah eksportir di Tanoh Gayo mengirimkan sample konvensional (tanpa sertifikat).
Sebagaimana diungkapkan Ketua AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) Aceh, Armia, beberapa waktu lalu, bahwa saat ini kopi gayo tidak lagi memenuhi syarat masuk ke pasar Eropa. Pasalnya, pembeli kopi dari Eropa menyebutkan, bahwa hasil uji laboratorium ternyata sampel kopi yang dikirim dari Aceh, khususnya Dataran Tinggi Gayo, diketahui mengandung kadar glifosat atau zat kimia.
Belakangan diketahui bahwa zat kimia dimaksud sebenarnya digunakan petani untuk menekan (mematikan) rumput. Tapi sayangnya, penggunaan zat tersebut berada di ambang batas, sehingga mencemari buah kopi. Meski tidak ada unsur kesengajaan untuk mencemari kopi, tapi yang pasti kopi petani kemudian terpapar zat kimia tersebut.
Kadisperindag Aceh: Perlu Carikan Solusi
Melihat permasalahan tersebut, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) Aceh, Mohd Tanwier, menyampaikan informasi tersebut tentang bagaimana unsur glifosat bisa masuk pada kopi arabika gayo, yakni pada jenis kopi konvensional.
Tambahnya, meskipun jenis kopi konvensional yang terpapar glifosat, hal itu harus menjaÂdi perhatian semua pihak. Tidak hanya pemerintah, baik Dinas Pertanian, maupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan, namun juga bagi koperaÂsi kopi, bahkan para petani kopi itu sendiri.
Untuk itu Kadisperindag Aceh juga meminta para akademisi untuk meneliti dan mencari sebuah penemuan dalam penyelesaian masalah kopi gayo yang terindikasi terkontaminasi zat kimia berupa glifosat ini. Solusi itu sangat dibutuhkan para petani agar kopi yang mereka panen bersih dari paparan zat kimia.
“Ya kita minta bantuan akademisi atau peneliti mencari solusi atau metode lain untuk permasalahan gulma (tumbuhan pengganggu) ini, agar petani tidak menggunakan pestisida yang bisa mencemari buah kopi,” kata Mohd Tanwier kepada Waspadaaceh.com, Senin (20/9/2021).
Begitu pun Kadisperindag Aceh menyebutkan, sebelum sampel kopi dikirimkan, seharusnya dilakukan pengujian terlebih dahulu untuk mendeteksi kadar glifosat tersebut. Namun, kata dia, hingga saat ini di Aceh masih belum memiliki alat pendeteksi dengan slot di atas 0.01 mg/kg. Pihaknya juga sudah mengajukan ke pusat untuk menyediaan alat tersebut.
“Sebelum dikirim sampelnya, kan kita uji dulu. Nah kita belum punya alatnya untuk mendeteksi slot di atas 0.01 mg/kg. Kita sudah mengajukan, kita sudah berupaya,” jelas Tanwier.
Kata Kadisperindag Aceh, pihaknya sudah melakukan edukasi kepada pelaku industri kopi untuk menjaga kualitas dan kemurnian kopi arabika gayo. Yakni dengan melakukan pengendalian mutu di setiap mata rantai produksi dan penanganan pascapanen. Terutama mengimbau para petani untuk bijak dalam menggunakan herbisida di kebun kopi.
Mesin Potong Rumput
Kadisperindag Aceh juga menanggapi adanya ide agar para petani diberi bantuan berupa mesin pemotong rumput agar dapat digunakan untuk mengatasi gulma di kebun kopinya. Dengan demikian para petani diharapkan tidak lagi menggunakan zat kimia dengan cara penyemprotan yang bisa mencemari buah kopi.
Menurut Mohd Tanwier, solusi dengan menggunakan mesin babat rumput unÂtuk membersihkan lahan atau kebun kopi, hanya mampu bagi lahan yang tidak terlalu luas. Sedangkan untuk lahan yang luas, penggunakan mesin pemotong rumput dianggap tidak efektif.
“Kalau membersihkan lahan atau membasmi rumput tak cukup hanya dengan mesin pemotong rumput itu, apalagi lahannya sampai ratusan hektare,” ungkapnya.
Mohd Tanwier menjelaskan, hingga saat ini industri kopi gayo masih tetap menjaga kualitasnya sebagai kopi terbaik di dunia.
Produk Kopi Organik
Kadisperindag mengatakan, kopi organik gayo ini adalah kopi yang dihasilkan dengan mengaplikasikan model pertanian yang terus-menerus atau berkelanjutan dan bebas kimia. Dengan demikian maka hal-hal yang berkaitan dengan aspek pelestarian pada sumber daya alam dan aspek keamanan bagi kesehatan manusia sangat diperhatikan.
Selain itu juga aspek keamanan lingkungan karena terhindar dari senyawa kimia yang bisa mencemarkan, aspek nilai gizi dari kopi tersebut dan hal lainnya menjadi pertimbangan yang kuat. Produk kopi gayo harus benar-benar organik.
Untuk penanganan setelah panen kopi organik maka diperlukan kecermatan yang mendetail agar kopi yang dihasilkan bisa sesuai dengan standar mutu biji kopi. Ketika menghasilkan kopi organik maka hal yang penting untuk diperhatikan yaitu terkait keuntungan yang didapatkan oleh produsen (petani), pengolah, pedagang dan penikmat kopi itu sendiri.
“Perlu diketahui bahwa satu-satunya provinsi yang sudah mampu mengekspor kopi organiknya yaitu daerah Aceh. Khususnya di wilayah Dataran Tinggi Gayo. Untuk pemasaran dan penjualannya, kopi gayo ini sudah sampai ke mancanegara,” jelasnya. (Cut Nauval Dafistri)