Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kalangan dokter di Aceh mengungkapkan keprihatinannya melihat fenomena paska diumumkan Aceh “aman” COVID-19 dengan arti, tidak ada lagi pasien positif virus Corona di RSUZA Banda Aceh.
Bahkan menurut pengamatan Waspadaaceh.com, Aceh terkesan telah “melonggarkan” aturan-aturannya yang pernah dikeluarkan sebelumnya, dengan mencabut berbagai kebijakan pembatasan terhadap masyarakat.
Pengungkapan bahwa Aceh seolah-olah aman dari penularan virus Corona, bisa mengakibatkan masyarakat menjadi abai dengan kebijakan physical distancing. Hal itu bisa dibuktikan dengan suasana di pasar-pasar dan tempat umum lain, terutama cafe dan kedai kopi di Aceh, yang kembali ramai seperti tidak menghiraukan ancaman bahaya COVID-19 yang ada di depan mata.
Keprihatan itu diungkapkan para dokter yang bergabung dalam wadah GBTMA (Gerakan Bantu Tenaga Media Aceh) yang berdiskusi dengan pengurus PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Aceh, di ruang rapat PWI Aceh di Banda Aceh, Rabu (15/4/2020).
Kasus Positif Corona di Aceh Terus Bertambah
Dr Syafrizal Rahman, pembina GBTMA yang juga Ketua IDI Aceh ini mengingatkan, masyarakat jangan lengah dan berpuas diri membaca berita bahwa di Aceh zero positif COVID-19. Padahal, menurut dia, Aceh belum mengalami puncak pandemi. Dia mencontohkan kasus Corona atau COVID-19 di Wuhan, China, setelah dua bulan meledak.
Artinya, kondisi itu bisa juga terjadi di Aceh, kalau masyarakat tidak waspada dan terkesan cuek karena sudah merasa aman. “Inilah yang kita takutkan,” ujar Syafrizal, dokter spesialis paru tersebut.
Hal senada diungkapkan Ketua GBTMA dr Nurkhalis. “Bila meledak, akan menjadi ancaman besar karena kita (Aceh) tidak siap.”
Dia mencontohkan, kebutuhan AKD untuk dokter dan tim medis di RSUZA hanya cukup untuk dua bulan saja stoknya. Selain itu, fasilitas tempat tidur di ruang isolasi RICU RSUZA hanya tersedia lima unit saja.
Tulisan Terkait: Masyarakat Aceh Dimohon “Bek Tungang”
Bagian yang lain, lanjut dia, fasilitas pusat karantina juga belum ada serta belum lagi kendala lainnya.
Karena itu, bila Aceh memasuki masa pandemi, Nurkhalis dan para dokter lain yang hadir di PWI Aceh, antara lain, dr Nazaruddin (Kabid APD GBTMA), dr Syahrul (Humas GBTMA) dan dr Fathurrahmi, Wakil Ketua GBTMA, itu tidak bisa membayangkan ancaman besar sementara Aceh tidak siap untuk menghadapinya.
Terkait itu, kalangan dokter ini mengingatkan para pejabat pengambil keputusan dan warga Aceh, jangan lengan dengan kondisi sekarang ini.
Sumber daya dokter, kata Nurkhalis, jumlahnya tidak cukup bila terjadi pandemi. Dari 3000 dokter yang ada di Aceh, hanya 100 sd 150 yang berprofesi sebagai dokter paru.
“Itu belum lagi fasilitas APD untuk tim medis yang minim. Inilah yang membuat kita para dokter ini miris melihat warga begitu euforia seolah tidak ada ancaman atau sudah merasa bahwa Aceh aman COVID-19,” paparnya.
Dokter ini mengingatkan, kasus di Italia dan Amerika, tadinya menganggap remeh, warganya tetap kumpul- kumpul di pusat keramaian, cafe-cafe dan fasilitas umum lainnya. Tapi begitu pandemi memuncak, negara Italia kewalahan, fasilitas rumah sakit tidak cukup menerima.
Terjadi ledakan pasien COVID-19 dan korban manusia berjatuhan melebihi angka di Wuhan. Hal mengerikan lagi saat ini di seluruh negara bagian Amerika Serikat, dilaporkan dalam seminggu ini saja lebih 5000 orang meninggal. Sekarang posisi korban meninggal di negeri Paman Syam itu di atas 10 ribu orang. Diperkirakan bisa memakan korban di atas 100 ribu sampai 250 ribu bila tidak cepat ditanggulangi.
Belajar dari pengalaman negara tersebut, kata para dokter ini, rakyat Aceh bisa mengambil pelajaran. Caranya? Tetap menjaga jarak, selalu cuci tangan, perbanyak tinggal di rumah, pola hidup bersih dan selalu memakai masker.
Apalagi, sebut Ketua Ikatan Dokter Aceh (IDI) Aceh, Syafrizal, droplet bisa menempel di banyak tempat, di meja, mesin ATM, uang tunai. Dan, bila sudah terpapar dan terinfeksi COVID-19 akan menulari orang sekeliling kita, keluarga, anak, istri, suami dan tetangga serta komunitas.
“Bukan kah, sumber virus Corona di Aceh banyak pintu masuknya?,” ujar Ketua IDI Aceh ini. Misalnya, perbatasan Sumut – Aceh, pelabuhan tikus yang membawa TKI ilegal dari Malaysia dan orang-orang yang punya riwayat bekergian ke daerah pandemi. Sementara di Sumut sendiri dilaporkan sudah lebih 100 orang positif Corona.
Dalam diskusi hampir 90 menit itu, para dokter spesialis dalam wadah GBTMA diterima langsung oleh pengurus teras PWI, antara lain, Ketua PWI Aceh, Tarmilin Usman, Wakil Ketua Iranda Novandi, Sekretaris Aldin NL, Bendahara Azhari, Ketua Siwo Imran Joni, anggota DKP PWI Aceh, Nasir Nurdin serta pengurus lain Nasir Yusuf dan Legiono Tarigan.
Ketua PWI Aceh, Tarmilin Usman, mengharapkan ada sinergi semua pihak dan berperan sesuai dengan fungsi masing-masing.
“Pers berperan menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang COVID-19 di Aceh,” ujar Tarmilin Usman. (Aldin NL)