Banda Aceh (Waspada Aceh) – Pada 100 hari pertama kepemimpinan Prabowo Subianto, Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) mendesak pemerintah untuk menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara di Sumatera dan mempercepat transisi energi terbarukan.
Desakan ini muncul sebagai respons terhadap dampak buruk yang dirasakan masyarakat akibat proyek pembangkit listrik berbasis energi kotor yang terus beroperasi.
Koordinator STuEB, Ali Akbar, menegaskan bahwa sembilan PLTU batubara di Sumatera telah membawa dampak negatif terhadap kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat, bahkan memicu konflik.
Berdasarkan data yang dihimpun, sebanyak 2.803 orang mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit paru-paru, dan penyakit kulit. Ali juga menyoroti dampak terhadap nelayan yang pendapatannya menurun akibat ikan yang semakin menjauh.
“Biaya untuk melaut pun meningkat, namun hasil tangkapan semakin sedikit, bahkan ada yang tidak memperoleh ikan sama sekali,” kata Ali melalui siaran pers, Senin (27/1/2025).
Selain itu, warga Desa Padang Kuas, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, juga merasakan dampak dari beroperasinya jaringan transmisi Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT).
Setelah uji coba pembangkit pada 2019, fenomena kerusakan barang elektronik mulai terjadi, dengan 165 barang elektronik rusak dan 4 orang mengalami kejadian kesetrum listrik.
Ali Akbar juga mengkritik gugatan yang baru-baru ini diputuskan oleh PTUN Jakarta, yang menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk meningkatkan sanksi terhadap PLTU Ombilin.
“Antara tuntutan dan putusan tidak nyambung. Bahkan, pemerintah justru memberi karpet merah bagi perusahaan pembangkit dengan menghilangkan kategori FABA sebagai limbah B3,” ujar Ali.
Di sisi lain, beberapa perusahaan pembangkit di Sumatera telah mendapatkan sanksi terkait pembuangan limbah FABA, namun upaya peningkatan sanksi tersebut tidak tampak. Beberapa PLTU batubara seperti PLTU Teluk Sepang, PLTU Pangkalan Susu, dan PLTU Keban Agung diketahui tidak mematuhi aturan pengelolaan lingkungan dalam pembuangan limbah.
Koordinator Lembaga Tiga Beradik Jambi, Deri Sopian, turut menyuarakan masalah yang muncul dari transportasi batubara yang melibatkan jalan umum. Setahun yang lalu, kemacetan selama 20 jam terjadi akibat angkutan batubara, yang menyebabkan 176 kecelakaan dan 112 orang meninggal dunia.
Di Sumatera Selatan, Koordinator Sumsel Bersih, Boni Bangun, menyebutkan bahwa ada 16 PLTU batubara yang beroperasi, sementara 2 lainnya dalam tahap pendirian. Padahal, listrik di Sumatera Selatan sudah surplus.
“Kelebihan daya di Sumsel mencapai 1,2 GW, sementara di Sumatera secara keseluruhan kelebihan daya mencapai 4,6 GW. Sudah sepatutnya pemerintah segera mematikan PLTU batubara,” tegas Boni.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyatakan komitmennya untuk menghentikan PLTU batubara dalam kurun waktu 15 tahun, seperti yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada November 2024.
Direktur Yayasan Apel Green Aceh, Syukur Tadu, juga menyampaikan bahwa PLTU 1&2 Nagan Raya telah memperburuk kualitas hidup masyarakat sekitar, dengan polusi udara yang mengancam kesehatan, terutama bagi anak-anak.
Ia menegaskan bahwa solusi terbaik adalah pensiun dini PLTU 1&2 Nagan Raya, dan menghentikan praktik co-firing yang memperburuk kondisi lingkungan.
Syukur menambahkan, sudah saatnya beralih ke energi yang lebih bersih. “Nyawa manusia lebih berharga dibandingkan PLTU,” ujarnya.
Menyikapi hal ini, Presiden Prabowo sebagai Kepala Negara diharapkan segera mengevaluasi dan mengambil langkah untuk menutup PLTU batubara di Sumatera, sebagai bagian dari upaya menghentikan proyek yang sudah terbukti menyengsarakan rakyat dan merusak lingkungan. (*)