Pada jalur pesisir timur Medan – Banda Aceh, banyak kota yang akan dilewati wisatawan, mulai dari Kualasimpang, Langsa, Lhoksukon, Lhokseumawe, Bireuen, Pidie sampai Banda Aceh. Sepanjang perjalanan itu wisatawan akan dapat menikmati keindahan alam Aceh, situs-situs sejarah serta aneka kuliner.
————-
Jika di Banda Aceh punya Museum Tsunami, ada beberapa objek wisata terkenal lainnya di Provinsi Aceh, salah satunya yang terdapat di wilayah Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten dengan ibukota Lhoksukon ini, terdapat objek wisata terkenal dan bagian penting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, yakni Museum Samudera Pasai.
Pariwisata Aceh mulai bangkit kembali seiring dengan melandainya penyebaran COVID -19. Sebagaimana disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Aceh, Jamaluddin, yang mengatakan, pelaksanaan event promosi wisata di Aceh mulai tahun depan diharapkan lebih meningkat lagi seiring dengan menurunnya kasus COVID-19 dan status Indonesia menjadi endemi.
Jamaluddin menyampaikan itu dalam pembukaan Tour de Aceh (TDA) 2022 di Hotel Kryad Muraya Banda Aceh, Kamis malam (21/4/2022). Tour de Aceh (TDA) 2022 untuk etape pertama di Takengon dan etape kedua di Banda Aceh-Aceh Besar, dengan jarak total 150 Km. Pesertanya ditargetkan mencapai 200 peserta dari wilayah Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat.
Salah satu tujuan pelaksanaan TDA 2022 ini, dengan peserta yang datang dari Kota Medan, Pekanbaru dan Padang, diharapkan juga diiringi dengan kedatangan para wisatawan. Para wisatawan diharapkan melakukan perjalanan melintasi perbatasan Sumatera Utara hingga ke Kota Banda Aceh. Pada jalur pesisir timur Medan – Banda Aceh banyak kota yang akan dilewati wisatawan, mulai dari Kualasimpang, Langsa, Lhoksukon, Lhokseumawe, Bireuen, Pidie sampai Banda Aceh. Sepanjang perjalanan wisatawan akan dapat menikmati keindahan alam Aceh, situs-situs sejarah serta aneka kuliner.
Museum Samudera Pasai
Salah satu objek wisata sejarah adalah Museum Islam Samudera Pasai atau Samudera Pasee di Kabupaten Aceh Utara. Dari Kota Banda Aceh dapat ditempuh dengan jarak 284 Km, waktu tempuh selama 5 jam 23 menit. Sedangkan dari Kota Medan, dapat ditempuh dengan jarak 323 Km selama 6 jam 16 menit.
Mengutip informasi dari Katalog Museum Indonesia, Direktorat Perlindungan Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemenristek) RI, museum ini merupakan museum khusus yang dibangun secara bertahap sejak tahun 2011 sampai tahun 2016 bersumber Dana Otsus Kabupaten Aceh Utara.
Luas bangunannya mencapai 500 M2, dan bangunan permanen ini berlantai dua dengan hiasan ornamen khas Samudera Pasai. Museum ini juga menyimpan sejumlah koleksi peninggalan Kerajaan Islam Samudera Pasai dari abad ke 13 sampai dengan abad ke 19.
Museum ini berada di bawah pengelolaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Aceh Utara. Menariknya, berbagai jenis koleksi yang dipamerkan di dalam museum terdiri dari koleksi Filologika, Historika, Numismatika, Etnografika dan Seni Rupa.
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh Utara, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 Masehi dengan bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini dengan ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara.
Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera Pasai di Desa Beuringin, Kecamatan Samudera, sekitar 17 Km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik Al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik Al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah dia masuk Islam, dan merupakan Sultan Islam pertama di Indonesia.
Dengan masa kekuasaan sejak 1297 hingga 1326 Masehi, Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik Al-Saleh.
Replika Nisan Nahrisyah
Selain itu, mengutip informasi dari www.museumnasional.or.id di Museum Samudera Pasai itu juga terdapat Replika Nisan Nahrisyah dengan aksara Arab bergaya Kufi pada tahun 831 Hijriyah atau 1428 Masehi.
Replika dari nisan Sultanah Nahrasiyah ini aslinya terdapat di Samudra Pasai, Aceh Utara. Nisan Sulthanah Nahrisyah adalah salah satu peninggalan budaya materi, bukti bertulis dari masa penyebaran Islam di Nusantara. Setelah adanya penyebaran agama Islam, aksara Arab mulai dikenal dan berkembang di Nusantara.
Aksara Arab pertama yang dikenal di Indonesia dituliskan pada nisan yang ditemukan di Desa Leran, Gresik dalam bahasa Arab dengan kaligrafi kath Kufi. Pada perkembangan selanjutnya, aksara Arab tidak hanya digunakan untuk menulis teks-teks agama saja, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kehidupan sosial sehari-hari, seperti teks-teks sastra, hukum, perdagangan, dan sebagainya.
Sultanah Nahrisyah atau Nahrasiyah adalah keturunan Sultan Malik as-Saleh, merupakan raja perempuan pertama di Aceh yang memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Sulthanah Nahrisyah memimpin kerajaan Samudera Pasai menggantikan Sulthan Zainal Abidin yang mangkat tahun 1405 Masehi.
Sulthanah Nahrisyah wafat di tahun 1428 Masehi dan dimakamkan berdampingan dengan makam ayahnya, Sultan Zainal Abidin, merupakan makam terindah di Asia Tenggara. Nisan Sulthanah Nahrisyah dipenuhi aksara Arab berbahasa Arab dan Melayu kuno dengan khat Kufi yang indah, yaitu kaligrafi Arab tertua yang berasal dari kota Kufah.
Nisan tersebut memuat keterangan bahwa “Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci, Ratu yang terhormat, Almarhumah yang diampunkan dosanya. Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin putra Sultan Ahmad putra Sultan Muhammad putra Sultan Malik As-Shaleh. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, mangkat dengan rahmat Allah pada hari 17 Dzulhijah 831 H/ 1428”. Selain itu dituliskan ayat Kursi, surah Yasin, kalimat Syahadat, penggalan surah Ali Imran ayat 18-19 dan surah Al Baqarah ayat 285-286.
Selain Nisan dan Museum Samudera Pasai, di sanan juga terdapat Monumen Islam Samudera Pasai. Monumen ini merupakan pengingat Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai.
Monumen ini didirikan di lahan seluas 7,7 hektare di Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Berjarak 300 meter dari kompleks makam Sultan Malikussaleh, pendiri Kerajaan Islam Samudra Pasai.
Dengan monumen ini kita tidak hanya bangga dengan Aceh, tetapi juga cinta dengan sejarahnya. Dibangun dengan dana Tugas Pembantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Bangunan monumen ini dirancang berlantai 3. Lantai pertama akan difungsikan sebagai ruang pameran, bidang kebudayaan, bidang pariwisata, mushalla, ruang latihan tari dan musik, ruang serbaguna, gudang, sekretariat pengelola, sekretariat pemandu wisata, dan sekretariat penelitian.
Wisata Sejarah untuk Edukasi Generasi Muda
Masriadi Sambo, salah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Lhokseumawe yang juga Anggota KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh menilai bahwa pengembangan museum sejarah Islam Samudera Pasai ini menjadi salah satu pengingat kepada anak muda generasi Z untuk mengingat masa lalu. Sejarah hadirnya Islam di Tanah Rencong ini, menjadi tolok ukur sejarah penyebaran Islam nusantara.
“Monumen Islam Pasai dan Museum Samudera Pasai ini hadir untuk lebih memberikan edukasi dan pemahaman bahwa penyebaran Islam pertama di nusantara itu dimulai dari sini. Salah satu sejarahnya adalah bagaimana Pasai dan Malaka dulu. Sejarah ini yang perlu dipahami anak muda saat ini,” jelas Masriadi.
Dia menilai lokasi ini sangat cocok untuk menjadi objek wisata sejarah Islam, bagi anak-anak dan keluarga. Selain Muslim, non Muslim juga dapat mengakses masuk kemari untuk lebih mengetahui sejarah Islam tertua dan penyebarannya.
Masriadi berharap, keberadaan wisata sejarah di Aceh Utara nantinya juga akan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar. Intinya, keberadaan Museum Islam Pasai dan Museum Samdera Pasai memberi manfaat yang besar bagi Aceh dan Nusantara. (Sulaiman Achmad)