Banda Aceh (Waspada Aceh) – Rencana pembersihan sumur gas AS-9 milik PT Medco E&P Malaka di Gampong Panton Rayeuk T, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur, menuai penolakan warga.
Mereka masih menyimpan trauma atas insiden kebocoran gas H2S (hidrogen sulfida) pada September 2023 yang menyebabkan puluhan warga keracunan dan dilarikan ke rumah sakit.
Warga menilai, belum ada jaminan keselamatan yang jelas dalam rencana kegiatan perusahaan kali ini. Sosialisasi yang dilakukan dianggap minim informasi teknis serta tidak menyentuh aspek keselamatan dan mitigasi risiko yang nyata.
”Kami tidak butuh tali asih Rp1 juta, kami butuh keselamatan. Apa gunanya uang kalau nyawa kami jadi taruhan?” kata Suhendra, salah satu warga yang menjadi korban keracunan tahun lalu, dalam konferensi pers yang difasilitasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Rabu (6/8/2025), di Banda Aceh.
Dalam insiden pada 24 September 2023, sedikitnya 34 warga mengalami gejala keracunan, seperti mual, muntah, pusing, dan pingsan. Beberapa dari mereka hingga kini masih merasakan dampak kesehatan yang belum sepenuhnya pulih.
Ketidakjelasan Prosedur Keselamatan
Warga juga mengungkapkan bahwa saat sosialisasi yang dilakukan PT Medco pada 24—25 Juli 2025, perusahaan menyebut radius bahaya hanya 500 meter dari titik sumur.
Padahal, pada kejadian sebelumnya, dampaknya dirasakan hingga lebih dari 1.200 meter dari lokasi.
”Kami tanya, kalau terjadi kebocoran lagi, apa yang harus kami lakukan? Mereka tidak menjawab. Tidak ada jalur evakuasi, tidak ada peralatan medis darurat, bahkan masker pun tidak disiapkan,” tutur Zulkifli, warga lainnya.
Dalam sosialisasi tersebut, warga juga hanya ditawari kompensasi atau ”tali asih” sebesar Rp 1 juta per kepala keluarga, serta Rp 750.000 tambahan bagi warga yang memiliki lahan kebun dalam radius 500 meter dari sumur. Namun, warga menilai jumlah itu tidak mencerminkan dampak nyata yang mereka hadapi.
”Kami minta Rp 300.000 per hari per kepala keluarga untuk menutup biaya hidup selama aktivitas pembersihan. Namun permintaan itu tidak direspons,” ujar Suhendra.
Muhammad Nuraki, warga sekaligus aktivis lingkungan di Aceh Timur, menyebutkan bahwa proses sosialisasi oleh perusahaan dilakukan secara terbatas dan tidak menyasar seluruh elemen masyarakat, termasuk kelompok rentan seperti perempuan dan lansia.
”Sosialisasi disisipkan dalam acara Jumat Berkah, hanya segelintir warga yang datang. Padahal ini menyangkut keselamatan seluruh kampung,” kata Nuraki.
Sementara itu, menurut Direktur Walhi Aceh Ahmad Shalihin bahwa perusahaan belum menunjukkan itikad serius untuk memastikan keamanan warga.
Menurut dia, kegiatan pembersihan sumur yang mengandung H2S gas beracun yang mematikan dalam konsentrasi tinggi harus diawali dengan pendekatan yang menyeluruh, bukan semata berbasis ekonomi.
”Kami tidak melihat adanya evaluasi menyeluruh dari Medco. Sosialisasi selama ini cenderung menekankan tali asih dan kompensasi, bukan penjelasan teknis, lingkungan, dan psikologis yang dibutuhkan masyarakat,” kata Omsol Akrab sapaanya.
Walhi menilai lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah dan tidak adanya sanksi atas insiden sebelumnya telah membuat perusahaan terkesan kebal terhadap kritik dan tuntutan warga.
Omsol menyebutkan, pihaknya bersama warga kini tengah menjajaki langkah hukum, termasuk kemungkinan menggunakan skema gugatan warga negara atau citizen lawsuit.
Tujuannya adalah mendorong penegakan standar keselamatan dan mencegah dampak buruk berulang.
”Kami ingin mendorong perbaikan sistemik, bukan hanya menuntut ganti rugi. Keselamatan warga adalah hak asasi yang tidak bisa dinegosiasikan,” ujarnya.
Hingga berita ini ditulis, pihak PT Medco belum memberikan tanggapan resmi atas desakan warga dan Walhi terkait rencana pembersihan sumur AS-9. (*)