“Dikaitkan dengan hasil kajian daya dukung habitatnya yang dapat mencapai 247 individu, maka sebenarnya populasi orangutan masih dapat meningkat”
— Dr. Wanda Kuswanda —
Orangutan Tapanuli sebagai spesies yang terancam punah, populasinya masih dapat meningkat dengan mitigasi yang tepat dalam menangani konflik manusia dan orangutan.
Doktor (Dr) Wanda Kuswanda, memaparkan hal itu dalam disertasinya berjudul, Model Mitigasi Konflik Manusia dan Orangutan Tapanuli pada Lansekap Batangtoru di Kabupaten Tapanuli Selatan, yang berhasil dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka dipimpin Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Muryanto Amin, S.Sos M.Si dengan predikat Cum Laude (dengan pujian), Selasa hari ini (9/2/2021).
Turut menyaksikan Ketua Program Studi S3 Pelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan/PSL, Dr Miswar Budi Mulya, MSi dan Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Prof Dr Robert Sibarani. Hasil ini menjadikan Dr Wanda Kuswanda sebagai satu-satunya doktor Orangutan Tapanuli di Indonesia.
Disertasi yang diselesaikan di bawah bimbingan Prof Dr R Hamdani Harahap, Prof Dr Hadi S Alikodra dan Prof Dr Robert Sibarani ini, merupakan satu-satunya penelitian komprehensif tingkat doktoral yang secara khusus meneliti orangutan Tapanuli di Indonesia. Melalui program doktoral ini Kuswanda menghasilkan sebuah model Mitigasi Konflik Manusia-Satwa Liar dengan pendekatan ekologi, sosial-ekonomi, budaya dan kelembagaan dalam skala lansekap.
Kuswanda menegaskan sangat tertarik untuk terus meneliti orangutan Tapanuli yang telah menjadi perhatian nasional dan dunia sebagai spesies paling terancam punah dari jenis orangutan lainnya di Indonesia.
“Penelitian terkait orangutan Tapanuli sangat dibutuhkan untuk menjadi rujukan strategi dan rencana aksi dalam mengembangkan program konservasi orangutan ke depan yang berbasis data dan informasi ilmiah,” ungkap Kuswanda.
Dalam disertasinya, dia menjelaskan, mitigasi penanganan orangutan antara lain dengan memberikan kompensasi dalam bentuk non tunai kepada petani pemilik lahan, pengamanan habitat dan monitoring populasi pada hutan konservasi, membangun koridor melalui pengayaan pakan di lahan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), serta mengembangkan ekonomi alternatif yang tidak membutuhkan lahan yang luas untuk mengurangi pembukaan lahan baru di habitat.
Kuswanda juga memaparkan bahwa populasi orangutan pada area seluas 29.192 ha, di Blok Timur (CA Dolok Sipirok dan daerah penyangganya) dan Blok Barat (Selatan) meliputi CA Dolok Sibual-buali dan penyangganya, di Kabupaten Tapanuli Selatan, diperkirakan kepadatannya 0,41-0,65 individu/km2 dengan total populasi sekitar 155 (121-187) individu.
Menurut Kuswanda, dikaitkan dengan hasil kajian daya dukung habitatnya yang dapat mencapai 247 individu, maka sebenarnya populasi orangutan masih dapat meningkat. Meskipun, kata Kuswanda, dengan laju pertumbuhan yang lambat, apabila kondisi habitatnya bisa dipertahankan, terutama pohon-pohon yang menjadi makanannya.
Namun banyaknya orangutan yang tinggal dan mencari makan di kebun masyarakat di daerah penyangga telah mengakibatkan konflik yang merugikan manusia dan orangutan sendiri. Tanaman masyarakat, seperti durian dan petai, sering dikonsumsi terlebih dahulu oleh orangutan sebelum bisa dipanen manusia.
“Akibatnya masyarakat sering mengusir orangutan yang ada di kebunnya terutama saat musim buah, sehingga orangutan bisa menjadi stress bahkan mengakibatkan kematian,” paparnya.
Lebih jauh lagi, Kuswanda memaparkan bahwa konflik antara manusia dan orangutan akan tinggi pada daerah yang banyak ditemukan pohon pakan, aktivitas penebangan dan rusaknya tanaman masyarakat, seperti di Daerah Bulu Mario, Aek Batang Paya, Aek Nabara sampai daerah Marancar.
“Masyarakat akan mendukung program mitigasi konflik asalkan bermanfaat juga untuk peningkatan sumber ekonomi mereka,” ungkap Kuswanda.
Dukungan Kolaborasi Aktif
Kuswanda menyebutkan berbagai macam strategi yang dapat dikembangkan dalam mitigasi konflik, seperti optimalisasi perlindungan hutan konservasi. Pada wilayah KPH disarankan pengayaan tumbuhan pakan sedangkan pada lahan masyarakat sebaliknya adanya pembangunan koridor, pengembangan ekonomi alternatif dan revitalisasi kearifan lokal.
“Pemberian kompensasi non tunai juga dapat menjadi solusi jangka pendek pada masyarakat yang tanamannya dikonsumsi oleh orangutan dengan kesepakatan mereka tidak mengusir orangutan dari kebunnya,” ungkapnya.
Namun Kuswanda menilai, mitigasi yang dilaksanakan akan lebih efektif jika ada dukungan dari berbagai pihak untuk berkolaborasi secara aktif. Secara kelembagaan, dalam pelaksanaannya, Kementerian LHK (Balai Besar KSDAE Sumatera Utara), Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Lembaga Masyarakat harus berkolaborasi dalam penanggulangan konflik orangutan Tapanuli.
“Pihak swasta dan LSM dapat menjadi mitra dalam mendukung penganggaran maupun pendampingan pada masyarakat,” tutur Doktor yang telah memulai meneliti orangutan Tapanuli sejak tahun 2003 saat mulai bekerja di Balai Litbang LHK Aek Nauli sampai sekarang.
Prof Dr Jito Sugarjito, ahli orangutan senior dari Universitas Nasional Jakarta, menyambut baik kelulusan ahli orangutan.
“Lahirnya doktor baru di bidang orangutan Tapanuli ini diharapkan dapat memotivasi para peneliti muda untuk melakukan berbagai topik riset satwa liar sebagai bagian dalam menjaga kelestarian Lansekap Batangtoru sebagai kekayaan alam tersisa di Sumatera Utara,” lanjut Prof Sugarjito.
Sebelumnya, Dr. Wanda Kuswanda memperoleh gelar S1-nya pada Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Kemudian dia meraih S2 pada Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. (sulaiman achmad)