Selasa, Desember 9, 2025
spot_img
BerandaAcehWali Nanggroe Kritik Lambatnya Respons Pemerintah Tangani Korban Banjir, Serukan Reformasi Lingkungan

Wali Nanggroe Kritik Lambatnya Respons Pemerintah Tangani Korban Banjir, Serukan Reformasi Lingkungan

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al-Haythar, menyoroti lambatnya respons pemerintah menangani para korban bencana banjir yang terjadi sejak 25-27 November 2025.

Ketika menerima pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh di Meuligoe Wali Nanggroe, Selasa (9/12/2025), ia menegaskan perlunya reformasi sistemik tata kelola lingkungan, penegakan hukum, dan pembentukan Tim Investigasi Independen.

Banjir hidrometeorologi yang melanda 18 kabupaten/kota di Aceh menimbulkan korban jiwa, ribuan rumah hanyut atau rusak, jembatan putus serta mengisolasi sejumlah desa yang belum tersentuh bantuan.

Wali Nanggroe menyatakan, keterlambatan evakuasi, distribusi logistik, dan layanan kesehatan memperparah risiko penyakit pasca banjir, termasuk kolera.

“Respons pemerintah terlalu lambat. Ini seharusnya dikategorikan sebagai bencana nasional sehingga membuka pintu bantuan internasional. Setiap menit menentukan keselamatan masyarakat,” tegasnya.

Ia merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 11 Tahun 2010 yang memberi Aceh kewenangan untuk menjalin kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri. Berdasarkan Perpres ini, Aceh tidak hanya berhak menerima bantuan internasional, tetapi juga memiliki dasar hukum untuk mengatur bentuk kerja sama tersebut.

Bantuan internasional bisa berupa hibah, pinjaman, investasi, atau dukungan teknis, dan sah secara hukum apabila melibatkan investor atau lembaga asing.

Dengan kewenangan ini, Aceh dapat memanfaatkan sumber daya global secara langsung untuk memperkuat penanganan bencana dan pemulihan pasca banjir.

Wali Nanggroe menilai banjir besar ini bukan semata akibat curah hujan tinggi, tetapi juga karena deforestasi, tambang ilegal, sedimentasi sungai, dan tata ruang yang tidak berbasis risiko bencana.

Ia menekankan perlunya penghentian deforestasi di hulu dan daerah aliran sungai, penataan tata ruang yang memprioritaskan mitigasi bencana, pembangunan infrastruktur pengendali banjir dan jembatan tahan bencana, serta pengendalian pencemaran air dari pertambangan ilegal.

Ia juga menyerukan penguatan sistem peringatan dini berbasis sensor dan satelit serta pemberantasan tambang dan pembalakan liar melalui sinergi antara adat, pemerintah, dan aparat penegak hukum.

Peran masyarakat hukum adat, termasuk Panglima Uteun, juga ditegaskan sebagai kunci menjaga hutan Aceh sebagai
“benteng mitigasi bencana”.

“Ekosistem Aceh adalah sistem penyangga kehidupan, bukan sekadar sumber daya alam,” ujarnya.

Selain itu, Wali Nanggroe memerintahkan pembentukan Tim Investigasi Khusus untuk menelusuri penyebab banjir.

Tim ini akan menelusuri jejak deforestasi dan ekspansi perkebunan besar-besaran, kerusakan daerah aliran sungai dan sedimentasi sungai, pencemaran aliran sungai akibat limbah dan sampah plastik, serta audit infrastruktur jembatan dan bangunan yang diduga tidak sesuai spesifikasi teknis.

Tim ini akan melibatkan akademisi, pakar hidrologi, ahli lingkungan, aparat penegak hukum, dan unsur independen.

Dalam pandangannya, bencana Aceh hari ini bukan semata soal alam, tetapi juga akibat ketertinggalan kebijakan dan kerusakan lingkungan yang sistemik.

“Musuh Aceh bukan lagi peperangan, tetapi kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan lemahnya tata kelola,” ujarnya.

Ia menegaskan perlunya mitigasi epidemi pascabanjir, pengelolaan bangkai hewan, pemetaan desa terisolir, serta penyediaan air bersih dan sanitasi darurat sebagai prioritas.

Wali Nanggroe menyerukan agar pengalaman pahit ini menjadi titik balik bagi Aceh dalam kesiapsiagaan menghadapi perubahan iklim.

Ketua SMSI Aceh, Aldin NL, juga menekankan pentingnya peran media siber dalam mengawal transparansi bantuan dan penanganan bencana, sekaligus menjadi garda depan dalam kampanye kesadaran lingkungan.

“Peran media bukan hanya melaporkan bencana, tetapi juga aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya perlindungan lingkungan dan mitigasi risiko bencana. Informasi yang akurat dan cepat bisa menjadi alat strategis dalam membangun kesadaran kolektif dan mendorong kebijakan yang berkelanjutan,” ujarnya.

Audiensi ini juga dihadiri Wakil Ketua SMSI Aceh Reza Gunawan, Bendahara Sulaiman, serta pengurus lainnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER