Jakarta (Waspada Aceh) – Wali Nanggroe Aceh Tgk. Malik Mahmud Al Haythar menegaskan, momentum dua dekade penandatanganan MoU Helsinki harus dijadikan sebagai titik evaluasi dan revitalisasi semangat perdamaian.
Penegasan itu disampaikan saat menjadi pembicara pada kegiatan Commemoration of the 20th Anniversary of the Aceh Peace Agreement, sesi bertajuk Refleksi dari Kepemimpinan Aceh dalam Proses Perundingan, Rabu (13/08/2025) di Jakarta.
Kabag Kerja Sama dan Humas Wali Nanggroe, Zulfikar Idris, menyebutkan kegiatan itu dilaksanakan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), sebuah organisasi internasional yang berdiri sejak 2008 di Jakarta.
Acara turut dihadiri antara lain mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla; mantan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia yang juga Ketua Juru Runding Republik Indonesia saat negosiasi MoU Helsinki, Hamid Awaluddin; dan Juha Christensen, salah seorang inisiator perdamaian Aceh asal Finlandia.
Hadir juga beberapa menteri Kabinet Merah Putih Prabowo–Gibran, para perwakilan negara sahabat dan lembaga donor, para tokoh nasional, serta akademisi dari berbagai universitas di Indonesia.
“Dua puluh tahun yang lalu, saya berdiri di meja perundingan sebagai Kepala Delegasi dari Gerakan Aceh Merdeka. Itu bukan posisi yang mudah. Kami datang membawa luka panjang rakyat Aceh, dengan harapan besar namun juga kekhawatiran mendalam. Namun di tengah ketegangan dan perbedaan, ada satu hal yang menyatukan kita, keinginan untuk menghentikan pertumpahan darah dan membuka jalan menuju masa depan yang damai dan bermartabat,” kata Wali Nanggroe.
Proses perundingan di Helsinki, kata Wali Nanggroe, bukanlah semata proses politik, tetapi juga sebuah proses batin, proses penyembuhan kolektif.
“Kami menyadari bahwa perjuangan sejati bukan hanya di medan perlawanan, tetapi di medan keberanian untuk berdialog, untuk mengakui luka masing-masing, dan untuk bersama-sama membangun harapan baru bagi generasi Aceh dan Indonesia yang akan datang.”
Ia mengungkapkan, sebagai pihak yang terlibat langsung, dirinya menyaksikan sendiri bahwa perdamaian tidak pernah lahir dari rasa menang atau kalah.
“Perdamaian sejati lahir dari keberanian untuk memahami dan menghargai satu sama lain. Karena itu, Perjanjian Helsinki bukan hanya hasil dari negosiasi dua pihak, tetapi merupakan warisan bersama antara Aceh dan Indonesia, yang menandai kemenangan akal sehat, kebijaksanaan, dan cinta kepada rakyat,” tuturnya.
Hari ini, lanjutnya, ia berdiri bukan lagi sebagai negosiator, melainkan sebagai Wali Nanggroe Aceh, simbol pemersatu rakyat Aceh.
“Sebuah amanah yang saya emban bukan untuk kekuasaan, melainkan untuk menjaga warisan perdamaian yang telah kita rajut bersama. Sebagai Wali Nanggroe, saya berkewajiban untuk menjaga kesinambungan adat, sejarah, dan budaya Aceh, serta menjadi pengingat hidup bahwa perdamaian yang kita miliki hari ini adalah hasil dari keberanian di masa lalu.”
Namun ia mengingatkan, perdamaian bukan akhir, tetapi awal dari perjuangan baru, yakni perjuangan untuk keadilan, pembangunan, dan penghormatan terhadap hak-hak dasar rakyat Aceh sebagaimana dijanjikan dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Kita telah mencapai banyak hal. Tapi kita juga harus mengakui masih banyak pekerjaan rumah, mulai dari implementasi butir-butir perjanjian yang belum tuntas, pemenuhan hak-hak korban konflik, dan penguatan lembaga-lembaga lokal agar mampu berdiri tegak dalam sistem otonomi yang bermartabat,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Malik Mahmud menyebutkan, momentum 20 tahun ini harus dijadikan titik evaluasi dan revitalisasi semangat perdamaian.
Ia menekankan, perdamaian tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang selesai, namun harus terus dipelihara, ditumbuhkan, dan diperjuangkan di ruang-ruang kebijakan, di ruang publik, dan terutama di hati setiap anak bangsa.
Kepada Pemerintah Republik Indonesia, Wali Nanggroe mengajak dengan penuh hormat untuk merawat komitmen yang telah dibangun bersama. “Implementasi perjanjian damai bukan semata soal administrasi atau politik, tetapi soal menjaga kepercayaan, soal membangun masa depan yang damai dan setara.”
Kepada generasi muda Aceh dan Indonesia, ia berpesan agar menjadi penjaga damai, bukan pewaris luka. Kenang sejarah, hormati pengorbanan para syuhada, tapi majulah dengan visi baru, Aceh yang damai, maju, bermartabat dalam bingkai keindonesiaan yang adil dan demokratis.
Ia juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak—baik dari Aceh, Pemerintah Republik Indonesia, maupun komunitas internasional—yang telah menjaga dan merawat perdamaian hingga hari ini.
“Juga khususnya Crisis Management Initiative (CMI) dan Pemerintah Finlandia, yang memainkan peran penting dalam memfasilitasi proses perdamaian,” kata Wali Nanggroe.
Mengakhiri pernyataannya, Wali Nanggroe mengutip sebuah ungkapan hikmah: “Orang yang paling kuat bukanlah yang mampu menaklukkan musuh, tetapi yang mampu menaklukkan egonya demi perdamaian.”
“Semoga Allah SWT meridhai setiap ikhtiar kita untuk menjaga dan memperkuat perdamaian ini, untuk Aceh, untuk Indonesia, dan untuk dunia,” tutupnya.
Pada kegiatan itu, Wali Nanggroe turut didampingi Anggota Majelis Tuha Peut Prof. Syahrizal Abbas; Anggota Tuha Lapan Drs. Kamaruddin; Staf Khusus Teuku Kamaruzzaman (Ampon Man), Dr. Muhammad Raviq, dan Dr. Rustam Efendi; serta Khatibul Wali Abdullah Habusllah. (*)