Banda Aceh (Waspada Aceh) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mengingatkan PT LSM agar tidak mengabaikan reklamasi lahan pasca operasi, sebelum melanjutkan eksploitasi kembali.
Hal ini merupakan kewajiban perusahaan untuk memperbaiki kembali lahan yang sudah rusak tersebut, kata Direktur Walhi Aceh, Ahmad Salihin, Selasa (29/11/2022). Dia mengatakan, Walhi Aceh juga meminta Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi izin PT LSM yang beroperasi di Kecamatan Lhoong Aceh Besar. Menurutnya ada sejumlah persoalan yang belum diselesaikan oleh perusahaan bijih besi tersebut.
“Kami minta PT LSM berhenti dulu beroperasi sampai kewajiban lingkungan dipenuhi, seperti reklamasi lahan maupun kewajiban lainnya,” kata Direktur Walhi Aceh.
Om Sol, sapaan akrab Ahmad Salihin mengungkapkan, pasca peralihan kepemilikan PT LSM pada pemilik baru, informasi yang diperoleh dari sejumlah nelayan di Desa Jantang dalam beberapa pertemuan, meminta jaminan kepada manajemen perusahaan agar tidak memperparah kerusakan lingkungan seperti yang terjadi sebelumnya.
Namun hingga sekarang, lanjutnya, belum ada titik temu permintaan jaminan tertulis tidak merusak lingkungan dari perusahaan tersebut. Tetapi pihak perusahaan baru sebatas memberi jaminan secara lisan.
Padahal kewajiban perusahaan menerima usulan dan masukan dari warga terdampak sangat jelas disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Jadi nelayan minta hitam di atas putih perjanjian tersebut agar ada pegangan bagi nelayan, tidak ada alasan pihak perusahaan tidak menyetujuinya,” sebut Om Sol.
Berdasarkan hasil observasi ke lapangan, Walhi Aceh menemukan fakta lapangan terdapat sejumlah persoalan pasca eksploitasi tahap pertama. Salah satunya sungai Krueng Sob sudah dangkal dan biodiversity yang ada di sungai tersebut sudah hilang.
Sungai Krueng Sob hulunya melintasi langsung dari lokasi penambangan bijih besi tersebut dangkal akibat lumpur bekas eksploitasi menumpuk di hilir yang muaranya langsung ke laut, berjarak sekitar 2 kilometer dari lokasi operasi tambang bijih besi tersebut.
Sebelum perusahaan PT LSM tersebut beroperasi sejak 2006 lalu, sungai tersebut banyak terdapat biota yang dapat dimanfaatkan nelayan yang bernilai ekonomi. Seperti ikan, kepiting, cue dan sejumlah biodiversity lainnya.
Selain itu, kata Om Sol, berdasarkan foto udara yang Walhi Aceh peroleh, lubang bekas tambang sebelumnya masih terbuka lebar, belum ada upaya dari pihak perusahaan untuk melakukan reklamasi.
Lanjutnya ini merupakan suatu kewajiban seperti tercantum pada Pasal 39 dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, bahwa perusahaan wajib melakukan reklamasi pasca tambang.
“Jadi tidak ada alasan bagi perusahaan mangkir, termasuk kerusakan lainnya seperti sungai Krueng Sob,” tegasnya. (*)