Banda Aceh (Waspada Aceh) – Wacana legalisasi ganja memantik perbincangan hangat di sebagian masyarakat Aceh. Seperti pada kegiatan diskusi yang berlangsung di Kamp Biawak, Limpok, Banda Aceh, Jumat petang (31/1/2020).
Kamp Biawak, sebuah forum diskusi pemuda bersama lembaga riset The Aceh Institute, mengundang beberapa tokoh, yakni Profesor Musri Musman, ahli kimia bahan alam Universitas Syiah Kuala, lalu ada Tgk Jamaika selaku pemerhati ganja dan Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Masing-masing mereka mengurai pandangan ilmiah terkait budidaya ganja bagi dunia medis. Selain itu, potensi tanaman ganja bagi perekonomian masyarakat juga dibahas panjang lebar.
Prof Musri dalam kesempatan itu membuka diskusi dengan paparan ilmiah tentang khasiat ganja, baik itu untuk bahan sandang, kesehatan dan lainnya. Namun itu hanya bisa dicermati melalui literatur yang ada.
“Karena kita belum bisa menyentuh langsung tumbuhan tersebut, karena dilarang secara hukum, bahkan hanya untuk penelitian,” kata dia.
Sejauh penelitiannya, ganja yang tumbuh di bumi Aceh diperkirakan tergolong jenis Cannabis Ruderalis. Sama seperti dua jenis lainnya, Cannabis Sativa dan Cannabis Indica, ketiganya termasuk spesies ganja yang ditanam dan tumbuh secara alami.
Variasi kandungan THC (Tetra Hydro Cannabinol) dan CBD (Cannabidiol) dalam tumbuhan inilah yang dalam kadar tertentu menyebabkan ganja menjadi tumbuhan terlarang. Dalam arti, penyalahgunaannya mengundang risiko kesehatan tertentu, seperti kanker.
Namun, dikutip dari merdeka.com, Musri pada 2015 lalu berhasil mengantongi izin dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI untuk meneliti hal ini lebih lanjut.
Bersama Yayasan Sativa Nusantara, riset Musri menguak lebih dari 600 senyawa dalam tumbuhan ganja, dimana puluhan senyawa diperoleh dalam ekstraknya dan tercatat mampu menangani 36 kasus kesehatan.
“Ini yang kita bicarakan. Manfaat positif dari ekstrak ganja,” ujarnya. Seraya meyakinkan bahwa di belahan dunia lain, beberapa negara berhasil membudidayakan tumbuhan ganja untuk keperluan medis, bahkan kebutuhan sandang dan lainnya.
“Apalagi, kandungan CBD pada ganja di Aceh ini tidak didapati di wilayah manapun. Ini potensi yang sangat besar jika dimanfaatkan dengan regulasi yang mamadai,” ujar dia.
Sementara itu, pemerhati ganja, Tgk Jamaika, dalam diskusi itu mengatakan wacana legalisasi ganja sempat muncul di Aceh beberapa tahun lalu. Namun wacana itu direspon negatif karena minimnya pengetahuan utuh di tengah masyarakat, utamanya dari kalangan yang hanya melihat ganja dari aspek penyalahgunaannya.
Judicial Review ke MK
Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN) menyampaikan dukungannya untuk advokasi ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan yang melarang ganja. Seperti diketahui, UU 35/2009 menetapkan bahwa ganja masuk dalam narkotika golongan I dan masuk dalam kategori dilarang di Indonesia.
Pada Pasal 8 menambahkan, narkotika golongan I dilarang untuk kepentingan pelayanan kesehatan. “Bahkan dalam hal pengobatan dan penelitian sekalipun, juga dilarang karena ada UU tersebut, yang kita target di Judicial Review (JR) nanti adalah konsen untuk sisi kesehatan,” imbuh Dhira kepada wartawan.
Beberapa pertimbangan yang dapat diutarakan dalam JR ke MK, diantaranya bicara hak warga negara dalam mendapatkan layanan kesehatan. Kemudian, unsur kearifan lokal juga layak menjadi perhatian.
“Seperti pada bumbu masakan di Aceh, ini masuk dalam unsur budaya,” tambahnya.
Namun, sebelum bicara lebih jauh manfaat ganja dalam kesehatan dan pengentasan kemiskinan, Dhira mengimbau, masyarakat perlu memperkaya pengetahuan tentang ini. Wawasan kolektif penting untuk meloloskan legalisasi ganja agar tidak hanya sekedar wacana ke depannya.
“Kalau tidak ada dorongan bersama, yang rugi kita sendiri, masyarakat kesannya seperti diadu domba. Di satu sisi, negara harus menjalankan hukum, di tengah keinginan kita untuk mengubah aturan hukum tersebut. Sementara di sisi lain, masih tinggi angka penyalahgunaannya. Maka harus ada sinergi,” pungkasnya. (Fuadi)