Banda Aceh (Waspada Aceh) – Dua dekade pasca perdamaian, Aceh masih menghadapi tantangan besar: kemiskinan yang menjadi akar konflik dan hambatan pembangunan.
Muhammad Taufiq Abda, Pengkhidmat Perdamaian, Adat, Gampong dan Mukim, menegaskan bahwa perdamaian bukan sekadar berhentinya kekerasan, tapi upaya kolektif untuk menjawab kebutuhan rakyat, terutama mengentaskan kemiskinan.
“Perdamaian adalah kebutuhan dan kepentingan banyak orang, bukan hanya mereka yang pernah berkonflik,” ujarnya saat wawancara dengan Waspadaaceh.com, Selasa (12/8/2025).
Taufiq menjelaskan, kemiskinan, diskriminasi, dan kesenjangan sosial adalah akar masalah yang kerap memicu konflik sosial dan masyarakat dengan negara.
Untuk itu, strategi pengentasan kemiskinan harus fokus pada “kantong-kantong miskin” di desa dan kampung, yang kini mencapai ribuan titik dengan angka kemiskinan tinggi.
Pendekatan yang diusulkan adalah kombinasi peningkatan pendapatan melalui pengembangan pertanian, perikanan, dan UMKM, serta pengurangan beban pengeluaran masyarakat lewat bantuan sosial dan subsidi kesehatan.
Namun, Taufiq menekankan bahwa program pemerintah saja tidak cukup.
“Manajemen keuangan rumah tangga juga krusial. Dana bantuan harus dikelola agar menjadi modal yang terus berputar, bukan habis sesaat,” katanya.
Peran masyarakat, terutama di tingkat akar rumput, sangat vital. “Pendekatan berbasis rumah tangga di kampung akan memudahkan pengukuran dan penanganan kemiskinan ekstrim,” kata Taufiq.
Pendekatan ini membuka ruang bagi peran multi-pihak, tidak hanya pemerintah, tapi juga generasi muda dan komunitas.
Taufiq jug mengingatkan bahwa narasi perdamaian tidak boleh hanya dimonopoli oleh mereka yang pernah terlibat konflik.
“Perdamaian adalah milik semua orang. Generasi muda punya peran besar dalam menguatkan perdamaian melalui edukasi, advokasi kebijakan, dan refleksi sosial,” ujarnya.
Ia menyampaikan tiga pilar penguatan perdamaian: pengolahan pengetahuan lewat kajian dan refleksi, perubahan kebijakan untuk menghilangkan pemicu konflik, dan edukasi masyarakat agar sadar perdamaian adalah hak dan tanggung jawab bersama.
Taufiq juga mengingatkan pentingnya menjaga fokus pada perdamaian, bukan terjebak dalam dinamika konflik lama. “Kalau terus melihat siapa yang terlibat konflik, kita bisa tenggelam dan terpecah.
Damai harus inklusif dan menjadi pekerjaan semua orang,” jelasnya.
Perdamaian sejati adalah pembangunan ekonomi yang berkeadilan, pengentasan kemiskinan yang menyeluruh, dan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat. Di sinilah letak tantangan terbesar Aceh hari ini membangun masa depan damai yang berkelanjutan, bukan sekadar merayakan berakhirnya perang. (*)