Di Sigli, Simpang Tiga, dan Mutiara, penulis bersama rekan-rekan harus bergantian mengangkat kamera dan laptop agar tidak terendam.
Banjir yang melanda Kabupaten Pidie beberapa waktu lalu bukan hanya menyapu rumah, tambak, dan jalan raya, tetapi juga menyentuh sisi terdalam dari tugas dan pengabdian para wartawan yang tetap bekerja meski mereka sendiri berada dalam ancaman keselamatan.
Di tengah arus deras, listrik padam, serta akses yang terputus, para jurnalis memikul satu tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan: memastikan masyarakat tetap mendapatkan informasi yang benar.
Setiap langkah di tengah banjir adalah perjalanan antara risiko dan kewajiban. Bagi wartawan, terutama yang tinggal di wilayah terdampak seperti penulis, tugas peliputan bukan sekadar pekerjaan harian, tetapi bentuk pengabdian ketika masyarakat membutuhkan kepastian kabar di tengah situasi yang kacau.
Ketika Banjir Menguji Profesionalisme
Saat air naik setinggi pinggang dan malam tiba tanpa cahaya, tugas jurnalistik menuntut keberanian lebih dari biasanya. Penulis harus memikul peralatan, menyeberangi arus, dan mencari tempat yang cukup tinggi untuk menghidupkan telepon seluler yang sinyalnya tidak menentu. Di titik-titik tertentu, genangan berubah menjadi sungai kecil yang membawa ranting dan lumpur.
Namun di tengah kesulitan itu, satu prinsip selalu menjadi pegangan: masyarakat harus mengetahui apa yang sedang terjadi. Di tengah bencana, akurasi berita bukan hanya urusan profesi tetapi bagian dari keselamatan publik.
Pengabdian Pers
Pada Senin (1/12/2025), Juru Bicara Bupati Pidie, Andi Firdaus alias Andi Lancok, menyampaikan penghargaan kepada seluruh wartawan yang tetap bekerja di tengah situasi darurat tersebut.
“Di saat mereka sendiri menjadi korban, para wartawan tetap berdiri di garis depan. Ini bukan hanya tugas profesional, tetapi bentuk pengabdian kepada masyarakat,” ujarnya.

Ucapan itu menjadi pengingat bahwa keberadaan jurnalis bukan sekadar menyampaikan berita, tetapi menjembatani warga dengan informasi yang mereka butuhkan untuk bertahan—entah itu perkembangan cuaca, status pengungsian, ataupun upaya pertolongan.
Dalam keterangannya, Andi Firdaus menambahkan bahwa laporan para jurnalis dari gampong-gampong terisolasi turut membantu pemerintah menentukan langkah-langkah penanganan yang lebih cepat dan tepat sasaran. “Data dan laporan media menjadi referensi tambahan bagi kami,” katanya.
Bagi jurnalis, ini menjadi bukti bahwa setiap catatan lapangan—seberat apa pun proses mendapatkannya—ada manfaat langsung bagi warga. Ketika akses terputus dan jembatan runtuh, tugas wartawan adalah memastikan kondisi di lapangan tetap terekspos agar bantuan tidak salah arah.
Peliputan banjir kali ini memberikan sejumlah tantangan. Di Sigli, Simpang Tiga, dan Mutiara, penulis bersama rekan-rekan harus bergantian mengangkat kamera dan laptop agar tidak terendam. Banyak kendaraan mogok, sebagian terseret arus. Di beberapa lokasi, satu-satunya cara mencapai titik pengungsian adalah dengan berjalan kaki atau menumpang perahu karet relawan.
Di tengah semua itu, komunikasi menjadi kendala paling berat. Sering kali berita baru bisa dikirim setelah menemukan satu titik kecil dengan sinyal yang cukup kuat. Tidak jarang jurnalis harus duduk di teras kantor pemerintahan, di bawah hujan gerimis, hanya untuk mengunggah naskah berita.
Solidaritas Jurnalis
Di tengah medan sulit itu, solidaritas menjadi energi terbesar. Para wartawan saling berbagi alat perekam, tripod, bahkan powerbank. Ada yang menumpangkan sepeda motor, ada yang membantu rekannya mengangkat kamera, dan ada pula yang ikut membantu warga mengevakuasi barang rumah tangga.
“Ini menunjukkan bahwa kekuatan pers tidak hanya pada tulisan, tetapi pada nilai pengabdian yang mereka pegang,” ujar Andi Firdaus.
Rilis BPBD Pidie menunjukkan betapa besar dampak banjir kali ini: 17 dari 23 kecamatan terdampak, 178 gampong tergenang, 14.986 KK (43.900 jiwa) terdampak, 7.573 KK (24.369 jiwa) mengungsi, 14.371 rumah terendam, 41 rumah rusak berat, 1 sekolah dan 1 dayah rusak berat, 4 kantor pemerintah terendam, 1.800 meter jalan rusak, 4 jembatan rusak, 7 irigasi rusak berat, 990 meter DAS longsor, 828 hektare lahan pertanian terendam, 1.794 hektare tambak rusak, serta 2 warga meninggal dunia.
Deretan angka ini bukan sekadar statistik bagi wartawan. Ia menjadi cerita yang harus dikisahkan, agar masyarakat memahami skala bencana dan pemerintah tidak keliru dalam memetakan respons.
Menutup keterangannya, Andi menegaskan bahwa pengabdian para jurnalis sangat berarti bagi masyarakat. “Di tengah bencana sebesar ini, masyarakat tetap mendapatkan informasi yang jernih berkat kerja keras mereka,” ujarnya.
Bagi penulis dan seluruh wartawan Pidie, tugas yang dijalankan selama banjir adalah bagian dari pengabdian yang tidak dapat ditawar. Ketika akses runtuh dan suara warga tenggelam oleh derasnya air, pers hadir untuk memastikan cerita mereka tetap terdengar. (Muhammad Riza)



