Video yang beredar luas di media sosial menjadi saksi bisu tindakan kekerasan oleh oknum aparat kepolisian terhadap demonstran.
Berapa nyawa lagi yang harus melayang sebelum kita belajar? Aksi demonstrasi, yang seharusnya menjadi panggung bagi suara rakyat, kembali ternodai oleh darah.
Kematian tragis Affan, seorang pengemudi ojek online (ojol), yang terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob Polda Metro Jaya saat kericuhan demo di Jakarta, Kamis malam, 28 Agustus 2025, menjadi alarm yang berbunyi nyaring bagi demokrasi kita.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah meminta maaf. Sebuah langkah yang patut diapresiasi, walau tak menghapus luka. Tragedi ini adalah puncak gunung es dari tindakan represif aparat kepolisian dalam merespons aksi demonstrasi.
Data dari berbagai LSM dan organisasi kemanusiaan menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kasus kekerasan oleh aparat kepolisian selama demonstrasi di bulan Agustus 2025.
Beberapa temuan penting, adanya ratusan demonstran menderita luka-luka akibat tindakan represif polisi, termasuk pukulan, tendangan, dan tembakan gas air mata dari jarak dekat.
Selain itu penangkapan sewenang-wenang ratusan demonstran tanpa alasan yang jelas. Banyak yang mengalami kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi selama penahanan. Bahkan jurnalis yang sedang bertugas meliput demo, menjadi korban kekerasan aparat.
Selain itu aparat kepolisian kerap menggunakan kata-kata kasar, intimidasi, dan ujaran kebencian terhadap demonstran, dan hal itu memperburuk suasana.
Video yang beredar luas di media sosial menjadi saksi bisu tindakan kekerasan oleh oknum aparat kepolisian terhadap demonstran. Pemukulan terhadap demonstran yang sudah ditangkap, penyemprotan gas air mata tanpa pandang bulu, dan penggunaan kekerasan fisik lainnya adalah pemandangan yang membuat hati miris.
Tragedi Affan dan meningkatnya kasus kekerasan polisi selama demonstrasi adalah sinyal bahaya bagi demokrasi kita. Pemerintah dan DPR RI harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Polri, khususnya dalam penanganan aksi demonstrasi.
Reformasi Polri harus dilakukan secara komprehensif, mencakup peningkatan profesionalisme, penegakan disiplin, dan perubahan pendekatan terhadap masyarakat. Aparat kepolisian harus memahami bahwa demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara yang harus dihormati dan dilindungi, bukan ditindas.
Kita tidak ingin tragedi serupa terulang kembali. Kita tidak ingin demokrasi kita terus dinodai oleh darah dan air mata. Sekaranglah saatnya kita bersatu dan menyuarakan keadilan bagi para korban kekerasan aparat. Jangan biarkan ada Alvan lain!
Semoga Affan beristirahat dengan tenang, dan semoga keadilan segera ditegakkan di negeri ini. (*)