“Untuk kemanusiaan, kami siap membantu masyarakat sebisa dan semampu kami”
Empat hari empat malam, waktu terasa seperti air yang membanjiri dan memakan segala yang ada — termasuk kabar berita yang seharusnya menjadi benang pemacu harapan. Di tengah lautan air yang melumpuhkan Aceh, kekhawatiran merayap ke setiap sudut hati masyarakat, menyemai ragu di mana informasi seharusnya tumbuh.
Informasi bukan lagi teman yang selalu dipercaya, kadangkala musuh yang menyebar dengan kecepatan angin badai: simpang siur, berwarna-warni, bahkan hoaks yang bertebaran di media sosial seolah bunga liar di lahan yang terlantar.
Semua itu lahir dari kesunyian yang mematikan: jaringan telepon selular dan internet yang putus, memisahkan desa dan kota dari dunia luar. Begitu juga di Langsa, kota yang terkurung dalam gembok banjir selama enam hari, terasing seperti pulau yang terlupakan di tengah lautan kemarahan bumi.
Selama enam hari itu, penderitaan tidak hanya datang dari air yang membanjiri rumah, tapi juga dari kekurangan yang menusuk hati: makanan yang sulit dicari, air bersih yang hanyut bersama aliran, jaringan internet terputus, listrik yang padam seperti mata yang tertutup, dan BBM yang hilang seperti harapan yang melayang. Semua lengkap, menyusun lakon penderitaan para korban dan penyintas yang terjebak di tengah kegelapan bencana.
Di antara mereka ada Dedek, jurnalis Waspada, yang rumahnya nyaris tenggelam di bawah air setinggi dada. Tapi yang lebih menyakitkan dari air yang membanjiri bukanlah tubuhnya, melainkan keputusasaan yang menjalar ketika listrik padam dan jaringan hilang — seolah-olah suara yang ingin teriak terkurung di dalam dinding tanpa jendela.
Hal yang sama dirasakan Rizal, jurnalis dari Medan yang terperangkap di Langsa selama tujuh hari. “Listrik padam, komunikasi terputus. Keluarga tentu panik, mengira terjadi sesuatu kepada saya,” katanya. Kata-katanya seolah secercah api di kegelapan yang mencekam.
Penyelamat di Tengah Simpang-siur Informasi
Empat hari empat malam kehilangan kontak dengan keluarga di Medan — waktu yang penuh dengan khayalan buruk dan keraguan — akhirnya berakhir ketika kami dan sebagian warga menemukan pelita di tengah kegelapan: kapal BC 30001 milik Bea Cukai, yang telah sandar di Pelabuhan Kuala Langsa selama beberapa minggu, berbagi jaringan satelit yang menjadi titik temu antara yang terjebak dan yang menunggu.

“Kami semua aman. Tapi listrik mati, gak ada jaringan hp,” ujar seorang pria ketika akhirnya bisa berbicara lewat handphone. Beberapa saat kemudian, air mata haru menetes di pipinya — setidaknya dia bisa mengirimkan pesan ke keluarga yang tinggal jauh, pesan yang lebih berharga dari emas. Dia adalah salah satu warga yang meminta akses internet dari kapal itu, dan berkat keberadaan BC 30001, hubungan yang putus pun terhubung kembali.
Sama seperti warga itu, Rizal yang selama empat hari tak bisa berbicara dengan keluarga dan kolega, akhirnya merasa lega. “Alhamdulillah, sangat terbantu. Saya bisa menghubungi keluarga, dan tadi saya bisa mengirim berita tentang bencana ini ke Waspada. Terima kasih Bea Cukai,” katanya, suaranya dipenuhi rasa syukur yang mendalam.
Ramadan, jurnalis senior, juga termasuk yang terbantu. Atas kebaikan kapten kapal Mohammad Rohim dan komandan patroli Budi Irawan, dia bisa menyampaikan kabar ke keluarga di Medan.
Begitu juga Maskur Abdullah, redaktur di Waspada Aceh, yang sudah empat hari hilang kontak dengan keluarga besarnya. Saat jaringan handphone tersambung, berkat wi-fi dari kapal BC 30001, suara dering langsung terdengar.
“Opa di mana, kok gak pulang-pulang,” kata dua bocah melalui video call. Dengan terbata-bata, Maskur hanya bisa menjawab, “Opa sehat, opa baik-baik saja. Opa belum bisa pulang ke Medan”. Tak lama tangis jurnalis senior ini tumpah. Komandan patroli, Budi Irawan, yang berada di sebelahnya, menepuk-nepuk bahu Maskur untuk meredakan keharuannya
Bantuan atas keberadaan kapal BC 30001 cukup besar. Tidak hanya itu, para crew kapal yang ramah bahkan menjamu tim jurnalis makan dan ngopi di dalam kapal, menumbuhkan silaturahmi di tengah kesulitan — meskipun mereka juga sendiri merindukan kabar dari keluarga yang terjebak di daerah bencana.
Giat mereka didukung sepenuhnya oleh Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Aceh, Bier Budy Kismulyanto, yang menjadikan semangat membantu sebagai prioritas teratas.
“Untuk kemanusiaan, kami siap membantu masyarakat sebisa dan semampu kami,” ujar Bier Budy Kismulyanto, kata-katanya seperti janji yang penuh kebaikan.
Tim jurnalis dari Medan yang mendapat bantuan menggunakan jaringan komunikasi milik kapal BC 30001, yakni Ramadan (Redaktur Senior Waspada.id/CEO KBA.ONE), Maskur Abdullah (Redaktur Pelaksana Waspada Aceh) dan Rizaldi Anwar (Redaktur Pelaksana Waspada.id).
Bantuan untuk Korban Banjir
Bier Budy Kismulyanto menegaskan bahwa Bea Cukai Aceh akan terus mendukung percepatan penanganan bencana, dengan kolaborasi lintas unit dan semangat “Kemenkeu Satu” sebagai kunci agar bantuan tiba tepat waktu dan tepat sasaran.
Pada pukul 06.30 WIB, kapal BC 60001 yang membawa bantuan kemanusiaan dari program Kemenkeu Satu dan Bea Cukai Peduli tiba di perairan Langsa setelah pelayaran panjang dari Tanjung Balai Karimun, Senin 1 Desember 2025.
Untuk tidak membuang waktu, proses ship-to-ship (STS) dilakukan pukul 07.30 WIB: bantuan dipindahkan langsung dari BC 60001 ke BC 30001 di tengah perairan, tanpa perlu menunggu sandar.
Kemudian, BC 30001 ditugaskan membawa seluruh muatan ke dermaga Langsa. Bantuan yang diangkut adalah kebutuhan dasar yang sangat dibutuhkan warga sejak banjir melumpuhkan aktivitas: bahan pangan, air minum, obat-obatan, dan perlengkapan darurat.
Tidak hanya untuk Langsa, sebagian bantuan juga akan diteruskan oleh BC 30001 ke Lhokseumawe, daerah yang juga terdampak banjir dan tanah longsor dalam beberapa hari terakhir. (*)



