Rabu, November 5, 2025
spot_img
BerandaAcehTeoantropologi Zakat: Konsep Prof. Syamsul Rijal untuk Bangun Kesadaran Muzaki

Teoantropologi Zakat: Konsep Prof. Syamsul Rijal untuk Bangun Kesadaran Muzaki

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Guru Besar Filsafat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Syamsul Rijal, menilai pentingnya membangun kesadaran berzakat di kalangan masyarakat, khususnya para muzaki, melalui pendekatan yang ia sebut sebagai teoantropologi zakat.

Hal itu disampaikan Prof. Syamsul Rijal dalam kegiatan Sosialisasi Potensi dan Kewajiban Zakat untuk Kalangan Media yang digelar oleh Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh bekerja sama dengan Baitul Mal Aceh, di Kupi Nanggroe, Banda Aceh, Selasa (4/11/2025).

Prof. Syamsul menjelaskan, konsep teoantropologi zakat mengandung dua dimensi penting, yaitu dimensi ilahiyah (ketuhanan) dan dimensi kemanusiaan.

“Kesadaran muzaki harus dibangun dengan nilai-nilai ilahiyah agar mampu bersyukur secara optimal, menyadari bahwa sebagian hartanya adalah hak orang lain. Dalam konteks inilah zakat berfungsi sebagai pembersih harta dan jiwa,” jelasnya.

“Namun yang tidak kalah penting adalah dimensi antropologinya yaitu kesadaran kemanusiaan dari prinsip-prinsip zakat itu sendiri,” tambahnya.

Ia menilai, masalah utama saat ini bukan karena masyarakat tidak memahami fikih zakat, melainkan karena lemahnya kesadaran berketuhanan dan berkemanusiaan. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya menumbuhkan kesadaran teologis dan antropologis agar masyarakat terdorong membagikan hartanya dengan ikhlas melalui lembaga resmi.

Untuk memperkuat kesadaran tersebut, Prof. Syamsul menilai negara juga memiliki peran penting dalam pengelolaan zakat.

“Sejak zaman Rasulullah hingga Khalifah Abu Bakar, penegakan zakat menjadi tanggung jawab negara. Pada era Abu Bakar Siddiq, itu beliau angkat senjata untuk menyadarkan orang, tetapi tidak sampai pertumpahan darah. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran negara dalam memastikan zakat terhimpun dengan baik,” jelasnya.

Ia menegaskan, zakat yang terhimpun dengan baik akan menciptakan keseimbangan ekonomi (ekolibrium) dan mencegah penumpukan harta pada segelintir orang. Karena itu, optimalisasi peran Baitul Mal menjadi kunci dalam mengubah kebiasaan masyarakat Aceh yang masih cenderung menyalurkan zakat secara mandiri.

“Baitul Mal Aceh sudah memiliki dasar hukum dan struktur kelembagaan yang kuat. Tinggal bagaimana lembaga ini benar-benar menjalankan amanah qanun secara komprehensif,” ujarnya.

Lebih lanjut, Prof. Syamsul juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas Baitul Mal dalam pengelolaan dana zakat, infak, sedekah, serta harta agama dan perwalian.

“Transparansi sangat penting, bukan hanya untuk kepercayaan publik, tetapi juga untuk mengubah kesadaran kultural masyarakat agar mau menyalurkan zakat melalui lembaga resmi,” tegasnya.

Ia berharap dana yang terhimpun di Baitul Mal dapat menjadi solusi konkret bagi persoalan ekonomi dan sosial masyarakat Aceh, terutama dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan sumber daya manusia.

“Dana zakat harus mampu membangun etos kerja dan spirit kemandirian. Jangan sampai orang lapar di lumbung padi. Potensi harta di Aceh besar, tinggal bagaimana kita bisa menghimpun dan menyalurkannya secara optimal,” tutupnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER