Medan (Waspada Aceh) – Ombudsman menilai telah terjadi diskriminasi pemberlakuan kebijakan antara kru pesawat dan penumpang pesawat terbang. Pasalnya, syarat terbang bagi kru pesawat, cukup rapid tes antigen yang biayanya hanya sekitar RP85.000.
Sementara, masyarakat yang akan menggunakan jasa transportasi udara, wajib melakukan Polymerase Chain Reaction (PCR) yang harganya sangat mahal, yakni mencapai Rp550 ribu. Bahkan bagi yang menginhinkan hasilnya keluar dalam 5 jam, harganya bisa mencapai Rp1 juta.
“Padahal, bila penerapan syarat rapid antigen atau PCR ini dimaksudkan untuk memutus penularan virus COVID-19, maka risiko kru pesawat untuk tertular dan menularkan virus covid, sebetulnya juga sangat tinggi,” kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara, Abyadi Siregar.
Abyadi mengemukakan hal itu menanggapi pertanyaan wartawan terkait hasil inspeksi mendadak (Sidak) tim Ombudsman RI Perwakilan Sumut ke Bandara Kualanamu Medan, Rabu (27/10/2021).
Sidak tersebut dipimpin langsung Abyadi Siregar didampingi Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan James Panggabean, asisten Ainul Mardyah dan Yoga Pangestu.
Tim Ombudsman RI Perwakilan Sumut tersebut diterima langsung Kepala Otorita Bandar Udara Wilayah II, Agustono, Executive General Manager (EGM) PT Angkasa Pura II (Persero) Bandara Internasional Kualanamu, Heriyanto Wibowo dan Koordinator KKP Bandar Udara Kualanamu, dr Jimmy.
Abyadi Siregar menjelaskan, dalam sidak tersebut, tim Ombudsman RI Perwakilan Sumut mendapatkan keterangan bahwa awak pesawat dari dua maskapai penerbangan, hanya menggunakan rapid antigen ketika akan terbang. Ini memang bukan tanpa alasan.
Dalam Surat Edaran (SE) Menhub No 88 tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi COVID-19, disebutkan bahwa personel pesawat yang akan bertugas, wajib menunjukkan hasil negative pemeriksaan PCR atau rapid tes antigen.
“Artinya, kru pesawat dibenarkan hanya menggunakan rapid tes antigen sebagaimana diamanatkan dalam SE Menhub No 88 tahun 2021,” jelas Abyadi.
Menurut Abyadi, isi SE Menhub No 88 tahun 2021 yang membenarkan kru pesawat menggunakan rapid tes antigen sebagai syarat terbang, kurang tepat. Sementara masyarakat sebagai penumpang, diwajibkan menunjukkan surat keterangan PCR dengan hasil negative.
Alasannya, lanjut Abyadi, karena antara awak pesawat dan penumpang, sebetulnya sama-sama memiliki risiko tertular atau menularkan COVID-19.
“Bahkan risiko awak pesawat untuk tertular dan menularkan covid lebih tinggi. Karena selama dalam menjalankan tugas, terus berinteraksi dengan penumpang dalam ruang tertutup yang tidak bebas udara,” kata Abyadi.
Apalagi, lanjut Abyadi, masa berlaku rapid tes antigen itu selama tujuh hari. Selama surat keterangan rapid tes antigen itu masih berlaku, tidak ada dilakukan validasi. Sementara selama tujuh hari masa berlaku, para kru pesawat bebas beraktivitas di luar jam kerja.
“Artinya, risiko awak pesawat untuk tertular dan menularkan covid itu juga sangat tinggi,” ujarnya.
Sehubungan dengan itu, Abyadi Siregar menyampaikan agar sebaiknya tidak ada perbedaan penerapan syarat terbang antara kru pesawat dengan penumpang. Karena antara kru pesawat dengan penumpang, sebetulnya memiliki risiko yang sama dalam penularan virus COVID-19. (sulaiman achmad)