Dia membangun, memelihara, dan memperbaiki alam ini untuk kelangsungan hidup kita, agar kita dapat beribadah kepada-Nya dengan baik. Tetapi manusia merusaknya.
Di tengah suasana musibah bencana banjir Sumatera, umat Islam seyogianya bertaubat dari perilaku menyimpang dan tak terpuji. Musibah merupakan bentuk teguran Allah kepada kaum mukmin atas kekeliruan dan dosa-dosa yang kita lakukan.
Kita patut mengambil pelajaran, kembali kepada petunjuk Allah, dan menyadari makna musibah bencana ini seraya memperbaiki kekeliruan diri kita.
Imam Besar Masjid Fathun Qarib UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tgk. Saifuddin, menyampaikan hal itu dalam khutbahnya di Masjid Abu Indrapuri, Aceh Besar, Jum’at (05/12/25), bertepatan dengan 14 Jumadil Akhir 1447 H.
Lebih lanjut, Tgk. Saifuddin menyampaikan bahwa kita harus menyadari bahwa setiap becana tidaklah datang secara tiba-tiba, tetapi ada sebab-sebabnya; dan sebab yang paling utama dari terjadinya setiap bencana adalah dosa dan kekeliruan manusia sendiri.
“Ini sesuai firman Allah sendiri dalam Surah Ar-Rum ayat 41, bahwa bencana, kehancuran, dan berbagai kerusakan di muka bumi – baik di laut maupun di darat – terjadi karena upaya bersengaja yang dilakukan oleh manusia,” jelas akademisi UIN Ar-Raniry itu.
Dilanjutkannya, banjir bandang Sumatera yang terdampak secara signifikan di tiga propinsi – Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat – yang terjadi baru-baru ini adalah salah satu contoh bentuk teguran Allah kepada kita di negara yang mayoritas warganya muslim. Kita mengakui beriman dan menjalankan ibadah ritual kepada Allah, tetapi pada saat yang sama juga menyelisihi hukum dan ketentuan Allah, sunnatullah lainnya.
Sudah sering kita dengar peringatan para ahli ekologi dan lingkungan hidup bahwa tindakan menebang pohon di hutan berimplikasi negatif terhadap kehidupan manusia; salah satunya dapat menyebabkan banjir. Tetapi sekelompok manusia rakus, tamak, dan membelakangi ketentuan Allah serta mengabaikan pandangan ilmu pengetahuan, hanya untuk memaksakan kepentingan mereka.
Allah sendiri dalam ayat di atas menjelaskan bahwa Dia membangun, memelihara, dan memperbaiki alam ini untuk kelangsungan hidup kita, agar kita dapat beribadah kepada-Nya dengan baik. Tetapi manusia merusaknya. Maka itulah sebabnya Allah menimpakan musibah seperti banjir bandang dan longsor ini.
Tgk. Saifuddin, yang juga Imam Syekh Masjid Jamik Baitul Jannah Tungkop Aceh Besar, lebih lanjut menyampaikan bahwa tujuan Allah memberi musibah adalah untuk memberi pelajaran, agar manusia merasakan, menyadari, dan mengakui akan adanya Allah sebagai Pencipta, Penjaga, dan Pemelihara alam ini.
Kata Allah juga agar manusia bertaubat kepada-Nya, kembali patuh kepada Allah, dan memperbaiki kesalahan dan kekeliruan, untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.
Para ulama memberikan pemahaman bahwa “fasad” bukanlah semata kekeliruan tindakan dan kebijakan yang disengaja untuk merusak alam karena berbagai kepentingan dan kerakusan manusia, tetapi juga tindakan berani kita melawan Allah dalam berbagai bentuk. Kita zalim terhadap diri kita dan masyarakat sekitar, serta menjauh dari Allah dengan terang-terangan.
Lihat betapa banyak orang muslim meninggalkan shalat, mabuk, menggunakan narkoba, melakukan zina, curang dalam timbangan, makan riba, menipu, menyakiti tetangga, merampas hak orang lain, melakukan korupsi, dan berbagai kemungkaran yang dilakukan secara bersengaja dan secara angkuh di hadapan Allah sendiri.
Jadi, kalau kita sadari, wajar dan masuk akal bila Allah murka, marah, dan membuat perhitungan untuk menghukum kita.
Sangat kita sayangkan bila ada umat Islam yang tak sadar juga setelah ditegur oleh Allah dengan banjir yang demikian dahsyat. Harus ditegur dengan cara apa lagi agar manusia ini kembali ke jalan yang benar, kembali mengikuti ketentuan dan sunnatullah yang ada?
Banjir yang membawa lumpur dan gelondongan balok kayu membuat kita percaya bahwa sudah terjadi kerusakan hutan dan gunung di atas sana, sehingga curahan air hujan tak lagi terurai oleh dedaunan pohon-pohon besar sebelum jatuh secara melambat menyentuh tanah. Tak ada lagi jaringan akar kuat pepohonan di dalam tanah yang dapat menyerap, menangkap, dan menahan aliran air hujan agar tidak seluruhnya terjun ke sungai dan dataran rendah. Mungkin wajah gunung sudah luka-luki dicangkul dengan beko oleh tindakan liar para penambang. Daerah Aliran Sungai (DAS) pun makin sempit, diserang oleh banyaknya tumpukan bangunan beton di sisi kiri dan kanannya.
Juga, rumah-rumah binatang dan makhluk hidup lainnya di gunung dan hutan sudah bersengaja dirusak, yang menyebabkan mereka marah, sedih, dan kucir-kacir mencari tempat.
Yang juga menyedihkan kita adalah ada orang yang tega mengambil manfaat di tengah kesulitan bencana dengan menjarah dan menaikkan harga barang-barang kebutuhan pokok. Padahal Rasulullah SAW mengajarkan kita sebaliknya: bahan makanan pokok tidak boleh diambil pajak dan tidak boleh dipermainkan harganya.
Bagi para korban bencana yang dhaif atas tindakan dan kebijakan orang-orang di sekitarnya, kiranya bersabar. Allah menyediakan imbalan terbaik atas kesabaran mereka, serta pahala syahid untuk mereka yang berpulang dengan asbab banjir ini.
Setidaknya ada tiga bentuk kekeliruan kita yang seyogianya kita minta maaf kepada Allah dan kita bertaubat karenanya.
Pertama, kita mungkin cenderung mengabaikan keberadaan Allah dalam kehidupan kita, seakan Allah tak terlibat dalam mengatur alam dan kehidupan kita, seakan kita dapat hidup dalam ruang hampa terlepas dari pantauan-Nya. Padahal Allah selalu ada untuk kita, mengatur tanpa alpa, mengelola kebaikan kita.
Kedua, kita mungkin cenderung melanggar perintah-perintah-Nya; sering kita melakukan dosa-dosa dan tak mau mengakui kesalahan kita.
Ketiga, kita mungkin sudah berperilaku buruk dengan merusak kreasi ciptaan-Nya: merusak alam, merendahkan manusia yang dimuliakan-Nya, memburu dan membunuh hewan tanpa hak, menebang tumbuhan, dan melenyapkan generasi makhluk hidup yang ada di hutan dan sekitar kita.
“Kita bertaubat atas semua itu,” tutupnya. (b02)



