Permasalahan Taring-Taring Kope bukan hanya tentang pelestarian budaya semata, tetapi juga tentang bagaimana budaya itu dijaga agar tidak kehilangan nilai dan makna aslinya.
Oleh: Maysun Fadila
Tarian tradisional masyarakat Gayo yang dikenal dengan nama Taring-Taring Kope telah lama menjadi bagian dari budaya turun-temurun di daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Dulu, tarian ini dilakukan sebagai bentuk ungkapan kegembiraan dalam acara pesta pernikahan, khitanan, atau penyambutan tamu penting seperti raja. Para ibu dan anak-anak gadis menyanyikan lagu secara langsung sambil menari, tanpa menggunakan alat musik.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh teknologi modern, bentuk dan pelaksanaan Taring-Taring Kope mengalami perubahan signifikan. Kini, tarian ini tidak hanya diiringi alat musik modern seperti karaoke, tetapi juga melibatkan gerakan-gerakan baru yang berbeda dari versi tradisionalnya.
Tak hanya itu, tarian yang sebelumnya terbatas pada perempuan kini juga diikuti oleh laki-laki, menyebabkan terjadinya percampuran penari pria dan wanita di atas panggung yang disaksikan oleh banyak tamu.
Perubahan ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat Gayo, terutama terkait dengan nilai-nilai adat dan norma kesopanan yang dikenal sebagai Sumang. Dalam adat Gayo, Sumang adalah konsep moral dan etika yang mengatur batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Banyak pihak menilai bahwa Taring-Taring Kope versi modern telah melenceng dari nilai-nilai adat dan bahkan bertentangan dengan syariat Islam.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tengah, Amry Jalaluddin, dikutip dari media secara tegas meminta Majelis Adat Gayo (MAG) untuk meninjau ulang bahkan mempertimbangkan penghapusan tradisi ini.
Dalam tausiyahnya pada acara pembinaan biduan dan panitia HUT Transmigrasi Jagong Jeget ke-43, Amry menyampaikan keprihatinannya atas aksi joget yang melibatkan perempuan tanpa hijab dan bercampur dengan laki-laki di depan umum. Ia menekankan bahwa praktik tersebut tidak sesuai dengan syariat maupun adat Gayo.
Senada dengan itu, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh Tengah turut menyuarakan keprihatinannya. Mereka meminta pemerintah daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang melarang kegiatan berjoget ria, termasuk dalam acara khitanan dan pernikahan. Selain itu, KAMMI mendesak Majelis Adat Gayo untuk lebih gencar melakukan sosialisasi tentang nilai Sumang sebagai fondasi pembentukan akhlak masyarakat Gayo.
Antara Pelestarian dan Penyimpangan
Permasalahan Taring-Taring Kope bukan hanya tentang pelestarian budaya semata, tetapi juga tentang bagaimana budaya itu dijaga agar tidak kehilangan nilai dan makna aslinya.
Tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun memang layak untuk dipertahankan, namun perlu adanya batasan yang jelas agar tidak bertentangan dengan norma dan nilai lokal yang telah menjadi identitas masyarakat.
Tantangan terbesar kini adalah bagaimana masyarakat Gayo, khususnya para tokoh adat dan pemangku kebijakan, mampu menyeimbangkan antara pelestarian budaya dengan penerapan nilai-nilai adat dan agama.
Apakah Taring-Taring Kope akan tetap menjadi simbol kegembiraan masyarakat Gayo atau justru menjadi titik perdebatan antara adat dan modernitas?. (*)
- Penulis adalah mahasiswa IAIN Takengon Aceh Tengah.