Banda Aceh (Waspada Aceh) – Taqwaddin, salah seorang narasumber dalam Pembahasan dan Uji Publik Naskah Pedoman Implementasi Restorative Justice Perkara Jinayat, menyampaikan perlunya Hakim Ad Hoc Jinayah di seluruh Mahkamah Syariah Kabupaten/Kota dan Hakim Ad Hoc Jinayah Tingkat Banding pada Mahkamah Syariah Aceh.
“Usulan saya ini sesuai fakta bahwa banyak Mahkamah Syariah (MS) yang saat ini kekurangan hakim. Bahkan ada MS yang hakimnya hanya dua orang,” katanya, Kamis (11/07/2024).
Karena hal itu, menurut Taqwaddin, harus didukung ketentuan Pasal 135 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang membolehkan diangkatnya oleh Mahkamah Agung atas usulan Mahkamah Syariah Aceh.
Taqwaddin yang kini sebagai Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi di Banda Aceh menambahkan, wacana tersebut disampaikan saat membahas topik Peran Pemerintah Daerah dalam Penegakan Hukum Jinayah, di Hotel Hermes Banda Aceh, yang diselenggarakan oleh Dirjen Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI dan dihadiri oleh Hakim Tinggi dan para Hakim Mahkamah Syariah dari seluruh Aceh.
Terkait dengan Restorative Justice, Taqwaddin menjelaskan, sebetulnya hal ini sudah lama dipraktikkan dan sudah menjadi budaya hukum masyarakat Aceh dalam penyelesaian perselisihan secara adat.
Apalagi di Aceh dengan mengacu pada perintah UU Nomor 11 Tahun 2006, telah pula dibentuk Qanun Aceh tentang Adat Istiadat, yang didalamnya mengatur tata cara penyelesaian sengketa secara adat.
“Saya sudah membuktikan melalui riset kami 2012 yang didukung oleh UNDP bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap penyelesaian sengketa secara adat mencapai lebih 90%. Mekanisme penyelesaian perselisihan secara adat ini bagaikan Restorative Justice sebagaimana dikenal saat ini,” ujarnya.
Menurut Taqwaddin, Restorative Justice adalah suatu proses dengan melibatkan multipihak untuk mewujudkan keadilan konkrit.
“Tugas utama hakim adalah mengadili dan memutuskan untuk memberikan keadilan konkrit. Putusan hakim harus bermanfaat dan memberikan kepastian”.
Langkah untuk mewujudkan keadilan konkrit, menurut Taqwaddin, bisa ditempuh melalui litigasi atau non-litigasi, baik berupa mediasi, rekonsialiasi, ajudikasi, ataupun restorasi.
“Inti dari restorasi itu adalah pemulihan, yang dalam terminologi Hukum Adat Aceh adalah *peujroh*. Hukum peujroh ini adalah budaya Aceh untuk mewujudkan keharmonisan kembali antara pelaku, korban, dan masyarakat setelah terjadi permasalahan hukum, termasuk karena adanya kejahatan jinayah,” tambahnya.
“Hemat saya, tambahan hakim jinayah di Aceh sudah mendesak. Apalagi perkara-perkara jinayah semakin banyak jumlah dan kompleksitasnya,” ungkap Taqwaddin, yang juga Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh.
Merespon saran Taqwaddin, salah seorang Hakim Tinggi MS Aceh, Munir, mendukung usulan tersebut. Dia bahkan menyatakan ada beberapa MS Kabupaten/Kota yang jumlah hakimnya sangat minim sehingga menghambat proses mewujudkan keadilan.
“Saya mendukung sekali saran Pak Taqwaddin yang berdasarkan UU Pemerintahan Aceh, perlu adanya Hakim Ad Hoc Hukum Jinayah, yang diseleksi secara transparan dan ketat terhadap tokoh-tokoh yang berintegritas dan berkualitas mengenai Hukum Jinayah, yang tunjangan kehormatan bisa dibiayai dengan APBA”, ujar Hakim Tinggi Mahkamah Syariah Provinsi Aceh ini. (b02)