“Anak-anak memiliki hak untuk berekspresi, mendapatkan informasi, dan berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan”
– Kepala DPPPA Aceh Meutia Juliana, S.STP, M.Si –
Suara anak-anak Aceh menggema dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli. Acara peringatan ini berlangsung meriah di Blang Padang, Banda Aceh, pada Minggu (11/8/2024).
Dalam acara ini, sejumlah anak-anak Aceh membacakan pesan dan aspirasi mereka di hadapan para pejabat pemerintah Aceh.
Selain Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh Meutia Juliana, S.STP, M.Si, hadir juga dalam acara tersebut Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, serta sejumlah pejabat Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dan instansi pemerintah lainnya.
Dua anak yang juga termasuk penyandang disabilitas turut membacakan pesan tersebut menggunakan bahasa isyarat, menyampaikan tuntutan agar pemerintah lebih serius dalam mengoptimalkan pemerataan kualitas pendidikan yang ramah anak serta memfasilitasi kebutuhan anak-anak, termasuk di panti asuhan.
Mereka juga menuntut agar pemerintah menyediakan fasilitas yang ramah anak dan layanan kesehatan yang inklusif, terutama bagi anak-anak penyandang disabilitas.
“Pemerintah harus lebih tegas dalam menindaklanjuti segala bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap anak,” ujar salah satu anak dalam orasinya.
Mereka juga menyerukan agar pemerintah Aceh bersinergi dalam meminimalisir pernikahan usia anak, serta mengoptimalkan upaya pencegahan stunting dan memperkuat kawasan tanpa rokok di tanah Serambi Mekah ini.
Pantauan Waspadaaceh.com, acara ini juga diramaikan oleh berbagai agenda menarik untuk memeriahkan Hari Anak Nasional. Anak-anak yang hadir didominasi oleh mereka yang mengenakan pakaian berwarna merah dan putih, merayakan dengan semangat kebersamaan.
Beragam permainan tradisional turut dipamerkan, memperlihatkan kekayaan budaya Aceh yang masih terjaga hingga kini. Forum Anak Tanah Rencong dari berbagai daerah di Aceh juga membuka stan mereka masing-masing, memamerkan karya dan memberikan informasi terkait hak-hak anak.
Maksimalkan Partisipasi Anak
Partisipasi anak dan remaja dalam pembangunan di Aceh menjadi perhatian semua pihak. Orang dewasa perlu memahami dan membuka ruang yang lebih luas bagi anak-anak untuk berpartisipasi secara aktif dan setara.
Pemerintah, komunitas, dan media massa memiliki tanggung jawab bersama dalam memastikan suara anak-anak didengar dan diperhitungkan dalam setiap proses pembangunan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, melalui Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Amrina Habibi, menegaskan pentingnya partisipasi anak dan remaja dalam proses pembangunan.
“Anak-anak memiliki hak untuk berekspresi, mendapatkan informasi, dan berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan,” ujar Amrina, pada kegiatan konsultasi anak dan remaja dalam perencanaan dan penganggaran berlangsung di Hotel Ayani Banda Aceh, Minggu (4/8/2024).
Ia menambahkan pemerintah memiliki komitmen kuat terhadap perlindungan anak yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002. Menurutnya, semua pihak wajib melindungi dan memberikan ruang bagi anak-anak untuk berpartisipasi aktif.
“Kita harus berjuang untuk memaksimalkan partisipasi anak dan remaja dalam musrenbang (musyawarah rencana pembangunan) dan musrena. Anak dan remaja harus terlibat aktif,” tegasnya.
Perlindungan Anak dan Pencegahan Pernikahan Dini
Peringatan Hari Anak Nasional menjadi momentum penting bagi lintas sektor dan organisasi di Aceh, termasuk keluarga, untuk memperjuangkan hak-hak anak, terutama bagi mereka yang masuk dalam kelompok rentan.
Kepala DPPPA Meutia Juliana menyampaikan data terkini bahwa jumlah anak di Aceh mencapai 1.935.522, atau 36,29 persen dari total penduduk di provinsi tersebut, termasuk mereka yang berusia hingga 19 tahun.
Namun, kasus kekerasan terhadap anak masih sering terjadi dan sering kali hanya tampak seperti fenomena gunung es. Pada tahun 2023, tercatat 634 kasus kekerasan terhadap anak di Aceh.
“Kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang paling dominan terhadap anak, diikuti oleh kekerasan fisik dan psikis,” ujar Meutia.
Menanggapi situasi ini, Pemerintah Aceh terus berupaya meningkatkan layanan perlindungan anak dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Menurutnya baru 10 dari 23 kabupaten/kota di Aceh yang memiliki UPTD PPA, sementara 13 kabupaten/kota lainnya masih dalam proses pembentukan.
Selain itu, pemerintah juga fokus pada pelatihan aktivis terpadu berbasis masyarakat desa yang ramah perempuan dan peduli anak. Program-program berbasis komunitas seperti PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat), DRPPA (Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak), dan SAPA 129 juga terus ditingkatkan.
Pencegahan pernikahan di bawah usia 19 tahun menjadi perhatian utama. Pemerintah Aceh mencatat ada 671 kasus pernikahan anak pada tahun 2023.
Berbagai upaya edukasi dan penguatan kelembagaan, seperti gerakan forum anak, GT KLA (Gugus Tugas Kota Layak Anak), Strada PPA (Strategi Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak), serta Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), dan program imunisasi bersama PKK, dilakukan untuk melindungi hak-hak anak di Aceh.
Unicef dan DPPPA Aceh
Unicef juga bekerja sama dengan DPPPA Aceh terkait sistem informasi manajemen untuk partisipasi remaja dalam pembangunan.
Ide dan saran dari anak-anak dan remaja yang disampaikan saat musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) dicatat dalam sistem dan dipantau hingga tingkat provinsi.
Kemudian aplikasi yang digagas oleh Forum Anak Tanah Rencong memungkinkan anak-anak menyampaikan persoalan pribadi dengan aman dan terdokumentasi dengan baik.
Kepala Unicef Oerwakilan Aceh, Andi Yoga Tama mengatakan, konsultasi khusus kepada anak dan remaja penting untuk memastikan partisipasi bermakna mereka dan mengetahui pola partisipasi yang dibutuhkan. Suara dan kebutuhan mereka penting menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan daerah.
Founder Youth.id Bayu Satria, yang juga Mitra Muda Unicef, menambahkan anak dan remaja di Aceh harus mendapatkan ruang yang memadai dalam proses pembangunan. Dengan jumlah anak-anak yang mencapai sepertiga dari populasi Aceh, ada kebutuhan besar untuk memastikan mereka terlibat dan hak-haknya terpenuhi.
“Usia anak dan remaja di Aceh mencapai sepertiga dari populasi, menjadikan mereka sebagai stakeholder penting yang seharusnya terlibat dalam pembangunan,” ujarnya.
Budaya patriarki di Aceh menjadi salah satu faktor yang menyulitkan anak-anak untuk berpartisipasi. Hambatan partisipasi anak dan remaja datang dari faktor eksternal seperti kondisi ekonomi keluarga, serta faktor internal seperti trauma akibat kekerasan atau bullying yang membuat mereka tidak percaya diri untuk terlibat.
Untuk itu menurut Bayu, perlu memastikan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk setiap anak, dengan memperhatikan interseksualitas masing-masing sehingga mereka memiliki ruang aman untuk berpartisipasi.
“Penting untuk memastikan bahwa masukan dari anak benar-benar diimplementasikan,” tuturnya.
Miftahul Fahmi, anggota Forum Anak Tanah Rencong, menuturkan, forum anak memberikan ruang berharga untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam berbagai agenda.
Dalam konteks pembangunan, partisipasi anak dalam acara seperti Musrenbang dan Musrena masih menghadapi tantangan, seperti kurangnya feedback mengenai implementasi masukan mereka.
Menurutnya, keterlibatan anak dan remaja harus dipastikan secara konsisten sebelum, selama, dan setelah acara, dengan posisi yang setara dan adanya slot khusus untuk suara mereka.
Anak-anak di Aceh berharap partisipasi mereka dalam pembangunan bisa lebih dihargai dan dianggap penting. Suara mereka harus diikuti dengan tindakan nyata agar Aceh bisa maju dengan melibatkan semua lapisan masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja. (*)