Jakarta (Waspada Aceh) – Serikat Pekerja PT PLN (Persero) atau SP PLN, Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP IP) dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), sepakat menolak Program Holdingisasi.
Selain itu mereka juga menolak rencana Kementerian BUMN yang berniat melakukan privatisasi terhadap usaha-usaha ketenagalistrikan yang saat ini masih dimiliki oleh PT PLN (Persero) dan anak usahanya. Caranya melalui pembentukan Holding asset pembangkit dan selanjutnya dijual sebagian sahamnya melalui IPO.
Apalagi, saat ini ada upaya dari Kementerian BUMN untuk melakukan holdingisasi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Cara melakukan privatisasi adalah dengan cara menggabungkan beberapa BUMN dan anak perusahaan melalui pembentukan Holding. Adapun BUMN dan anak perusahaannya tersebut adalah PT Pertamina Geothermal Energy, Unit PT PLN (Persero) yaitu PLTP Ulebelu Unit 1 dan 2, PLTP Lahendong Unit 1 sampai 4, PT Indonesia Power (Anak Perusahaan PT PLN (Persero) yaitu PLTP Kamojang Unit 1 sampai 3, PLTP Gunung Salak Unit 1 sampai 3, dan PLTP Darajat serta PT Geo DipaEnergi,” kata Muhammad Abrar Ali, Ketua Umum DPP SP (Serikat Pekerja) PLN Persero kepada Waspadaaceh.com, Rabu (28/7/2021).
Abrar mengatakan, permasalahannya rencana Holdingisasi PLTP ini akan menjadikan PT Pertamina Geothermal Energy (PT PGE) sebagai Holding Company-nya. Padahal kalau merujuk pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan putusan judicial review UU Ketenagalistrikan, disebutkan bahwa untuk usaha ketenagalistrikan maka yang menjadi Holding Company-nya adalah PT PLNn(Persero).
“Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain. Bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai holding company,” ujarnya.
Selain itu, SP PLN juga mempermasalahkan holdingisasi PLTU milik PT PLN (Persero), PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali. Saat ini, rencana holdingisasi PLTU ini memasuki posisi pengumpulan data-data.
Tetapi ditengarai hanya asset-aset PLTU yang ada di area di Pulau Jawa. Untuk informasi, biaya BPP pembangkitan daerah Jawa merupakan harga BPP tahun 2018 paling rendah yaitu di kisaran Rp984-989,-/kWh.
“Terkait dengan rencana holdingisasi PLTP maupun PLTU, bila bukan PT. PLN (Persero) yang menjadi Holding Company-nya, maka SP PLN Group tegas akan menolak karena berpotensi timbulnya pelanggaran terhadap makna penguasaan negara sesuai konstitusi. Selain itu, PT PLN (Persero) sampai saat ini telah terbukti menyediakan listrik secara affordable dan terjangkau bagi masyarakat,” jelasnya.
Apalagi, kata Abrar, hingga kini PT PLN (Persero) dan anak perusahaannya telah terbukti mampu mengoperasikan dan mengelola PLTP selama 39 tahun (PLTP Kamojang, Gunung Salak dan Darajat) dan hal ini dibuktikan dengan kinerja yang handal.
“Sehingga menjadi pertanyaan kenapa induk Holdingnya diserahkan ke pihak lain yang minim pengalaman dalam pengelolaan PLTP? Serikat pekerja di PLN Group juga menolak keras rencana Kementerian BUMN yang berniat untuk melakukan privatisasi dengan cara IPO kepada usaha-usaha ketenagalistrikan yang saat ini masih dimiliki oleh PT. PLN (Persero) dan anak usahanya,” ungkapnya.
Dia menilai IPO (Initial Publik Offering) adalah suatu kegiatan yang pada dasarnya menjual saham yang dimiliki suatu perusahaan kepada pihak lain (swasta). Dengan kata lain, ini adalah bentuk privatisasi atau masuknya kepemilikan privat (perorangan/badan) ke dalam saham perusahaan.
Kebijakan memisahkan/melepas/mengambil Unit PT PLN (Persero) dan unit anak perusahaannya adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang sangat kasar dan membabi buta. (sulaiman achmad)