Aceh Besar (Waspada Aceh) – Kesadaran akan pentingnya suara perempuan dalam pengambilan kebijakan di tingkat desa mendorong terbentuknya Forum Perempuan Pemimpin di Akar Rumput.
Forum ini menjadi ruang kolektif bagi perempuan untuk memperkuat peran dan partisipasi mereka dalam mendorong kebijakan perlindungan perempuan di gampong.
Forum dibentuk dalam kegiatan yang digelar Solidaritas Perempuan (SP) Bungoeng Jeumpa Aceh selama dua hari, 21–22 Juni 2025, di Orion Hall, Aceh Besar.
Kegiatan diikuti oleh perempuan dari 15 gampong dampingan, yang terdiri dari 14 gampong di Aceh Besar dan satu gampong dari Banda Aceh.
Ketua Badan Eksekutif SP Aceh, Rahmi Izzati, menjelaskan bahwa forum ini lahir dari kebutuhan mendesak akan ruang formal yang bisa diakses perempuan akar rumput untuk menyuarakan aspirasi mereka.
“Perempuan di 15 gampong dampingan kami belum memiliki struktur atau forum yang bisa digunakan untuk advokasi secara mandiri. Forum ini menjadi langkah penting agar mereka tak hanya bergantung pada fasilitator luar,” ujarnya.
Salah satu isu prioritas yang diangkat dalam forum ini adalah mendorong lahirnya qanun perlindungan perempuan di tingkat gampong.
Dari 15 gampong dampingan, baru tujuh yang memiliki aturan tersebut. Minimnya keterwakilan perempuan dalam struktur pemerintahan gampong disebut sebagai salah satu hambatan utama.
Rahmi menekankan, definisi pemimpin dalam forum ini tidak terpaku pada jabatan formal, melainkan pada kapasitas dan keberanian untuk bergerak serta menciptakan perubahan sosial.
“Pemimpin bukan soal jabatan, tapi soal kesadaran kritis dan keberanian bertindak,” tambahnya.
Dalam sesi berbagi pengalaman, sejumlah perempuan peserta menceritakan perubahan perspektif dan peran mereka setelah mengikuti pendampingan SP Aceh.
Salah satunya, Murni Basri, Salah satu Ketua PKK Gampong, mengaku baru memahami kompleksitas persoalan perempuan dan anak di desanya setelah mendapat pelatihan peningakatan kapasitas.
“Banyak kasus kekerasan yang saya tidak tahu sebelumnya. Setelah terlibat, saya mulai membangun kepercayaan, mendengar cerita warga, dan perlahan masalah-masalah itu mulai terungkap,” kata Murni, yang kini aktif menangani konsultasi warga dan membangun sistem pelaporan.
Kegiatan ini juga melibatkan sejumlah tuha peut dan aparatur desa yang turut berbagi praktik baik serta menyampaikan komitmen untuk lebih melibatkan perempuan dalam penyusunan kebijakan desa.
Sinergi antara forum dan struktur formal diharapkan dapat memperkuat keberlanjutan inisiatif perempuan.
Perwakilan dari Kecamatan Indrapuri, misalnya, menyebut bahwa keterlibatan perempuan kini makin nyata. “Kalau dulu perempuan tidak pernah dilibatkan, sekarang sudah ikut musyawarah desa, bahkan menyusun draf qanun,” katanya.
Peserta lainnya juga menyampaikan pentingnya mendokumentasikan resam atau aturan adat yang selama ini hanya lisan. Draf dokumen resam kini tengah disiapkan untuk disosialisasikan.
Forum perempuan ini akan segera membentuk struktur organisasi, melakukan pemetaan isu strategis di tiap gampong, serta mengembangkan kader-kader perempuan akar rumput yang mampu menggerakkan perubahan dari dalam komunitas.
Acara pembukaan turut dihadiri oleh Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekdakab Aceh Besar, H. M Ali, yang menyatakan dukungan terhadap upaya penguatan peran perempuan di tingkat gampong.
“Pemerintah daerah mendorong agar perempuan tidak hanya menjadi pelengkap, tapi bagian dari proses pembangunan itu sendiri,” katanya. (*)