Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kepala Bidang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja (PKPTK) Dinas Tenaga Kerja Aceh, Qifti Reza Kesuma, mengatakan bahwa kesiapan generasi muda Aceh dalam menghadapi dunia kerja yang makin kompetitif tidak cukup hanya dengan nilai akademik.
“Banyak anak-anak muda kita yang fokus pada akademik, tapi lupa membekali diri dengan keterampilan dunia kerja. Padahal, kemampuan komunikasi, menyusun CV yang tepat, hingga menghadapi wawancara kerja itu sangat penting,” ujar Qifti kepada Waspadaaceh.com, Kamis (25/7/2025).
Qifti menyebutkan bahwa tantangan terbesar saat ini bukan sekadar minimnya lapangan kerja, melainkan kesiapan tenaga kerja muda itu sendiri.
Menurutnya, penguasaan soft skill dan karakter kerja, termasuk penguasaan bahasa asing, menjadi kunci utama untuk bersaing, bahkan di tingkat global.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya sinergi antara dunia pendidikan dan industri agar lulusan sekolah dan kampus memahami kebutuhan riil pasar kerja.
“Perusahaan dan praktisi HR bisa dilibatkan untuk berbagi pengalaman. Banyak hal teknis seperti menghadapi interview atau menyusun CV yang luput dari kurikulum pendidikan kita,” imbuhnya.
Di tengah kondisi ekonomi Aceh yang belum sepenuhnya berbasis industri, Qifti menyarankan agar pencari kerja tidak semata mengejar pekerjaan formal, tapi juga membuka diri pada kerja mandiri dan kewirausahaan.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, lulusan SMK tercatat sebagai kelompok penyumbang pengangguran terbanyak. Namun Qifti menilai, data tersebut perlu dikaji lebih dalam.
“Secara pengalaman kami, banyak lulusan SMK justru melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Karena mereka masih berstatus mahasiswa, seharusnya tidak dikategorikan sebagai angkatan kerja, apalagi sebagai penganggur,” jelasnya.
Ia juga menyoroti adanya kekeliruan persepsi masyarakat tentang definisi “bekerja”. Di banyak daerah di Aceh, pekerjaan formal seperti berseragam atau kerja kantoran masih dianggap sebagai satu-satunya indikator kerja.
“Anak yang bantu orang tua di kebun dan punya penghasilan justru dianggap pengangguran, karena tidak tercatat dalam data resmi. Ini jadi alarm bagi dunia pendidikan dan statistik kita,” tegasnya.
Gen Z dan Tantangan Global
Qifti turut mengingatkan tantangan yang dihadapi oleh Generasi Z (Gen Z) di Aceh. Meski tumbuh di era digital yang serba cepat dan multitasking, gaya kerja Gen Z perlu dibarengi dengan edukasi ketenagakerjaan yang memadai.
“Gen Z ini terbuka terhadap berbagai peluang, tapi justru keterbukaan itu bisa jadi bumerang. Mereka mudah tertarik dengan tawaran kerja tanpa riset mendalam, seperti kasus ke Kamboja yang berujung jadi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang),” kata Qifti.
Ia mengajak para pencari kerja muda untuk tidak hanya menunggu peluang, tapi aktif membekali diri dengan keterampilan dan informasi yang tepat.
“Jangan pasif. Dunia kerja menuntut kesiapan mental, karakter, dan pengetahuan,” tutupnya. (*)