Banda Aceh (Waspada Aceh) – Dua dekade sudah Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki diteken. Aceh terbebas dari dentuman senjata dan patroli militer yang dulu membayang setiap langkah warganya.
Namun, bagi Shadia Marhaban (56) salah seorang tokoh perempuan Aceh di tim perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005, peringatan 20 tahun damai ini bukan sekadar seremoni. Ada pekerjaan rumah besar yang tak boleh dilupakan.
“Perdamaian ini harus terus dikawal. Jangan dibiarkan berjalan sendiri. Kalau kita lengah, bukan tidak mungkin masalah lama bisa muncul lagi,” kata Shadia usai menerima Lifetime Achievement Award dari UIN Ar-Raniry di Banda Aceh, Kamis (14/8/2025).
Shadia mengingat awal perundingan di Helsinki diwarnai rasa ragu. “Kami tidak sepenuhnya yakin implementasinya akan berhasil. Tapi ada poin-poin penting yang dijalankan pemerintah Indonesia, yang membuat kepercayaan itu tumbuh,” ujarnya.
Ia mengakui, damai membawa banyak perubahan positif ekonomi menguat, akses pendidikan meluas, dan rasa takut sirna. Namun, Shadia tak menutup mata pada sisi lain yang tak kalah penting: ekspektasi publik yang tak sepenuhnya terpenuhi.
“Dulu masyarakat Aceh sangat sengsara karena konflik. Setelah damai, banyak kemajuan. Tapi tentu ada sisi negatifnya. Semua butuh proses, dan ekspektasi masyarakat kadang tak sejalan dengan realita,” ujarnya.
Perempuan yang Merebut Ruang
Shadia mengatakan perubahan signifikan pada posisi perempuan pasca-damai. Kini, perempuan Aceh lebih banyak mengenyam pendidikan dan masuk ke sektor bisnis, perdagangan, pariwisata, hingga agama.
“Kesempatan sudah ada, tapi perempuan harus merebutnya. Perempuan Aceh harus membuktikan mereka bisa maju,” tegasnya.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa ruang itu tak otomatis terbuka lebar. “Kalau dulu perempuan dikejar-kejar tentara, masuk hutan untuk membantu logistik pejuang. Sekarang tantangannya berbeda: membangun kapasitas diri dan berani mengambil posisi strategis,” kata pendiri Liga Inong Aceh (LINA) ini.
Menurut Shadia, keberlanjutan damai sepenuhnya akan bergantung pada generasi berikutnya. “Kami sudah menjalankan bagian kami. Sekarang, anak muda Aceh yang harus menjaga dan mengisinya, dengan pendidikan tinggi dan ekonomi yang kuat,” ujarnya.
Sejak 2015, Shadia menjadi mediator di berbagai negara, termasuk Asia Tenggara, Afghanistan, dan Afrika. Ia juga tergabung dalam South East Asia Women Peace Mediators.
Bagi Shadia, MoU Helsinki bukanlah garis akhir. “Damai Aceh adalah proses panjang. Ia bisa rapuh kalau hanya diperingati, tanpa dikawal. Ini bukan pekerjaan satu generasi, tapi lintas generasi,” katanya. (*)