Banda Aceh (Waspada Aceh) – Matahari Banda Aceh belum terlalu terik saat Asep (40) mulai menata dagangan di trotoar Jalan Tgk. Moh. Jam, kawasan Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman.
Satu per satu bendera merah-putih berbagai ukuran digantungkan pada tiang kayu. Angin pelan menyibak kain itu, membiarkan kain merah putih itu mengepak pelan di antara lalu-lalang kendaraan.
Sudah sepekan Asep berada di sudut jalan itu, menjajakan bendera buatan sendiri. Ia datang jauh-jauh dari Bandung, Jawa Barat, membawa puluhan gulung kain dan semangat yang tak kalah merah dari warna dagangannya.
“Pertama kali saya ke Aceh itu tahun 2005. Sejak itu tiap Agustus saya rutin keliling jualan bendera. Kadang di Lhokseumawe, Langsa, Biruen, Kuala Simpang, pernah juga sampai ke Sabah,” tutur Asep, saat ditemui waspadaaceh.com, Senin pagi (4/8/2025), sembari menegakkan tiang kayu yang menyangga bendera berukuran jumbo.
Asep bukan sekadar pedagang. Di kampung halamannya di Bandung, ia menjalankan usaha konveksi rumahan yang memproduksi pakaian dan bendera. “Jadi semua ini produksi sendiri. Kalau ada yang pesan dari Aceh, tinggal saya bawa. Bisa juga kirim kalau di luar bulan Agustus,” ujarnya.
Bendera yang ia jual beragam, dari ukuran kecil seharga Rp20.000 hingga ukuran besar seharga Rp120.000. “Paling laku yang Rp30.000 sampai Rp40.000. Cocok untuk dipasang di depan rumah,” katanya.
Meski penjualan bendera hanya musiman, Asep menaruh perhatian serius pada geliat pasar. “Tahun lalu sepi, mungkin karena masyarakat fokus ke Pekan Olahraga Nasional (PON). Saya cuma habis 40 persen stok. Tahun ini alhamdulillah mulai ramai lagi,” ujarnya.
Simbol dan Identitas
Seorang pembeli menghampiri lapak Asep. Ia memperhatikan satu per satu bendera sebelum memutuskan membeli dua lembar. Pria itu bernama Junaidi, tukang becak yang sedang mengambil titipan pesanan untuk seorang pawang kapal dari Pulau Aceh.
“Bendera ini buat dipasang di boat. Kata pawangnya, harus ada bendera, biar tahu ini kapal Indonesia,” ujar Junaidi. Meski hanya membeli dua lembar, makna dari benda itu terasa besar baginya.
“Ini kan bulan kemerdekaan. Walaupun saya cuma tukang becak, tapi tetap penting untuk hormati negara. Biar kita ingat bahwa kita ini orang Indonesia,” tambahnya.
Bagi Asep, pertemuan dengan pembeli seperti Junaidi selalu menjadi momen yang ia nantikan.
Ia menyebut, setiap tahun, bendera bukan sekadar dagangan, tetapi jembatan silaturahmi dan pengingat akan semangat persatuan. (*)