Senin, Desember 23, 2024
spot_img
BerandaInforial Pemerintah AcehSetelah Konektivitas Darat dan Laut, Giliran Pemerintah Aceh Bangun Konektivitas Udara

Setelah Konektivitas Darat dan Laut, Giliran Pemerintah Aceh Bangun Konektivitas Udara

“Pengadaan pesawat dilakukan untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah di Aceh dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat dan pembangunan daerah”

— Gubernur Aceh Nova Iriansyah —

Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, belakangan ini kembali gencar turun ke beberapa daerah, antara lain ke Simeulue, Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh Selatan dan ke beberapa daerah lainnya. Nova melakukan gorund breaking dimulainya proyek jalan dan jembatan melalui skema proyek multiyears, untuk melancarkan konektivitas antar daerah pedalaman di Provinsi Aceh.

“Saya minta jalan ini harus selasai tepat waktu, karena kami telah berjanji kepada rakyat yang tertuang dalam RPJM Aceh,” kata Gubernur Nova Iriansyah ketika melakukan Ground Breaking (peletakan batu pertama) proyek peningkatan jalan Trumon Kabupaten Aceh Selatan-Singkil, Kamis (4/2/2021).

Ada beberapa kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang beruntung karena bakal memiliki ruas jalan dan jembatan yang baik melalui proyek multiyears tersebut. Beberapa di antaranya jalan yang menghubungkan satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, sehingga konektivitas antar kedua daerah menjadi lancar. Tentu kelancaran lalulintas, apalagi bisa memperpendek jarak, akan mendorong kelancaran ekonomi masyarakat setempat.

Selain mencanangkan pembangunan dan peningkatan ruas jalan serta jembatan di beberapa kabupaten, Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, juga meluncurkan Kapal Motor Penumpang (KMP) Aceh Hebat. Kehadiran KMP Aceh Hebat ini untuk melancarkan konektivitas laut bagi masyarakat Provinsi Aceh, teristiwa bagi masyarakat kepulauan.

Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, didampingi istrinya, Dyah Erti Idawati, saat mengoperasikan alat berat grader sebagai tanda dimulainya Peningkatan Jalan (MYC) Trumon, Bulohseuma Batas Kabupaten Aceh Selatan ke Kuala Baru, Kabupaten Aceh Singkil, Kamis, (4/2/2021). (Foto/Faisal)

Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, bahkan mengikuti uji coba berlayar dengan Kapal Motor Penumpang (KMP) Aceh Hebat 2, dari Pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh ke Pelabuhan Balohan di Kota Sabang, Selasa (29/2/2020).

KMP Aceh Hebat 2 telah tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, pada 19 Desember 2020, setelah lulus uji laik layar di perairan Bangkalan, Madura, Jawa Timur.

“Kita mau memastikan bahwa seluruh komponen dan perlengkapan navigasi yang disematkan pada KMP Aceh Hebat berfungsi dengan baik, sebelum melayani penumpang pada Januari 2021,” ujar Gubernur Nova.

Kini seluruh KMP Aceh Hebat telah beroperasi (berlayar) melayani para penumpang. KMP Aceh Hebat 1 akan melayari rute Meulaboh – Labuhan Haji – Simeulue. Kapal ini salah satu dari tiga kapal roro yang dipesan Pemerintah Aceh untuk meningkatkan konektivitas antar pulau.

KMP Aceh Hebat 2 akan melayari Balohan Sabang–Pelabuhan Ulee Lheue, dan KMP Aceh Hebat 3 akan melayani rute Singkil – Pulau Banyak.

Konektivitas Udara

Setelah Pemerintah Aceh membangun infrastruktur untuk melancarkan konektivitas darat dan laut, lantas bagaimana untuk konektivitas daerah yang membutuhkan transportasi udara?

Ternyata hal itu sudah dipikirkan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. Pemerintah Aceh dilaporkan akan membeli empat unit pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia. Sama seperti ketika memesan KMP Aceh Hebat, Pemerintah Aceh lebih memilih produk buatan dalam negeri.

“Nova Iriansyah sebelumnya memang telah menandatangani perjanjian kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) pengadaan empat unit pesawat terbang jenis N219 dengan PT Dirgantara Indonesia. Kerja sama kedua pihak juga dilakukan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengoperasian angkutan udara Aceh.

Nova menyebutkan, pengadaan pesawat dilakukan untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah di Aceh dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat dan pembangunan daerah.

“Harapan kami, PT. Dirgantara Indonesia dapat memenuhi kebutuhan transportasi perintis ini, sehingga hubungan antar wilayah di Aceh akan lebih baik,” ujar Nova menjelang prosesi penandatanganan MoU dengan PT DI.

Nova mengakui, membangun penerbangan perintis antar wilayah di Aceh tidaklah mudah. Sejumlah pihak swasta sudah pernah mencoba, tapi kemudian menghentikan operasinya karena alasan ekonomis.

Akibatnya saat ini penerbangan perintis di Aceh yang masih berjalan hanya ada di lima bandara. Itupun dengan frekuensi terbatas, antara satu sampai dua flight per minggu. Sementara penerbangan lain lebih banyak menjadikan Bandara Kuala Namu di Sumatera Utara sebagai penghubungnya. Sedangkan tujuh bandara yang ada di kabupaten/kota dalam keadaan tidak ada aktifitas.

Pro Kontra Pembelian Pesawat

Ketika menerima audiensi pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, menjelang HPN 2021, Gubernur Nova Iriansyah, banyak bercerita tentang rencana pembelian pesawat N219 tersebut, termasuk adanya upaya-upaya untuk menentang kebijakan tersebut.

“Padahal ini semua kita lakukan untuk kepentingan masyarakat. Pesawat ini juga nantinya bisa difungsikan untuk keadaan darurat sebagai ambulance udara,” kata Nova Iriansyah di hadapan para pengurus PWI Aceh, awal Februari 2021.

Kata Gubernur Nova, Pemerintah Aceh menjadi provinsi yang pertama melakukan agreement untuk membeli pesawat buatan dalam negeri tersebut. “Beberapa negara Asean saja, termasuk Thailand, ingin membeli pesawat N219 buatan bangsa Indonesia ini. Kok kita sendiri malah mempersoalkannya. Mestinya bangga dengan produk bangsa sendiri,” tutur Nova.

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, didamping Dirut PT. Dirgantara Indonesia, Elfien Goentoro saat meninjau pesawat N219 di hanggar PT. Dirgantara Indonesia, Senin 9 Desember 2019. (Foto/BPPA)

Memang sebelumnya sempat muncul pro kontra terkait dengan rencana Pemerintah Aceh membeli pesawat N219 tersebut. Salah satunya datang dari Taqwaddin, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh.

“Pemerintah Aceh tidak perlu membeli pesawat. Tidak ada alasan yang dapat dibenarkan terhadap rencana pembelian pesawat. Sejak masa Irwandi 2017 lalu, kami sudah menolak rencana tersebut,” kata Taqwaddin sebagaimana dikutip dari kumparan.com.

Taqwaddin membandingkan kondisi Aceh yang memiliki 23 kabupaten/kota dengan Provinsi Sumatera Utara yang memiliki 33 kabupaten/kota. Sumatera utara, kata dia, mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari Aceh, padahal pemerintah provinsi nya (Provinsi Sumatera Utara) tidak memiliki pesawat.

Tapi berbeda pula dengan pemikiran Akmal Ibrahim, Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), tentang rencana pembelian pesawat oleh Pemerintah Aceh. Akmal pernah mengungkapkan kepada Waspadaaceh.com, bahwa keberadaan pesawat komersial itu nantinya akan memberi dampak positif bagi daerah-daerah di Provinsi Aceh.

“Kalau saya punya pikiran lain tentang pesawat ini. Aceh memang membutuhkan pesawat untuk penerbangan antar daerah, melayani kebutuhan transportasi masyarakat. Kita punya banyak lapangan terbang perintis,” kata Akmal.

Lapangan terbang perintis di Aceh, sepengetahuan Akmal, setidaknya saat ini ada sekitar tujuh lapangan terbang. Kata Akmal, pemerintah pusat sebenarnya telah mengalokasikan anggaran subsidi untuk transportasi (darat, laut dan udara) di beberapa daerah, termasuk Aceh.

Selama ini, kata mantan jurnalis senior tersebut, keberadaan sarana transportasi udara yang ada masih sangat terbatas untuk daerah tertentu saja di Aceh.

“Kita bisa memanfaatkan anggaran subsidi ini untuk membuka jalur-jalur penerbangan yang menghubungkan antar lapangan terbang perintis di Aceh. Bukan hanya bermanfaat bagi masyarakat, tapi juga akan sangat mendukung meningkatkan kinerja dan mobilitas pemerintah daerah, khususnya dinas-dinas yang ada,” lanjut Akmal.

“Ekonomi akan ikut terdongkrak, dan lebih penting lagi, uang untuk ongkos penerbangan akan tetap berputar di Aceh,” ujar Akmal.

“Bisa bayangkan, kalau misalnya satu pesawat itu bisa melayani penerbangan Banda Aceh – Nagan – Aceh Selatan – Singkil – Simeulue – Sabang, pulang pergi setiap hari, dengan ongkos yang disubsidi, tentu akan meningkatkan mobilitas antar daerah,” lanjutnya.

Sedangkan jumlah pesawatnya, menurut Akmal, harus disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga anggaran yang digunakankan juga tidak mubazir, dan justeru menguntungkan daerah.

“Kalau jumlahnya terlalu banyak, tentu akan menjadi beban anggaran, terutama untuk operasional dan perawatannya. Kalau terlalu sedikit – tidak pula mampu melayani kebutuhan masyarakat. Jadi harus benar-benar dihitung dulu berapa unit kebutuhan kita.”

“Harus dilihat dari sisi ekonomisnya, berapa unit pesawat yang sebenarnya fisibel untuk melayani kebutuhan masyarakat di Aceh. Bisa dua, bisa tiga, pokoknya harus dilihat dari sisi ekonomisnya agar tidak menjadi beban,” kata Akmal Ibrahim.

Diketahui, pesawat N219 yang diberi nama Nurtanio oleh Jokowi, adalah pesawat buatan lokal, kolaborasi antara PT Dirgantara Indonesia (DI) bekerja sama dengan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional

Pesawat N219 dilaporkan memang dikenal sebagai pesawat non-militer pertama untuk kawasan perintis yang memiliki beberapa keunggulan. Antara lain untuk daerah pegunungan dan mampu beroperasi di landasan yang minim fasilitas. (***)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER