”Penerapan co-firing di PLTU 1-2 Nagan Raya, yang dikelola oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, memberikan manfaat ganda bagi lingkungan dan ekonomi”
Deriansyah (40) sibuk memilih kayu gelondongan di antara tumpukan sampah di Pantai Lam Naga, Desa Peunaga Rayeuk, Kec Meureubo, Aceh Barat, Provinsi Aceh. Berbagai jenis sampah yang terbawa arus laut pasca hujan seperti botol plastik, ranting kayu, dan batang-batang pohon tampak terdampar di sepanjang bibir pantai.
Kayu yang berdiameter sekitar 25 Cm dengan panjang antara satu hingga dua meter itu dikutip, kemudian dipotong dengan gergaji menjadi beberapa bagian. Suara gergaji mesin meraung bersahut-sahutan dengan deburan ombak yang terus menghantam pantai.
“Saya tinggal di sekitar sini dan sepanjang pinggir pantai ini banyak sekali sampah kayu yang didorong ke darat. Kami melihat peluang, daripada kayu-kayu ini mengotori pantai, lebih baik kita ambil dan jadikan biomassa untuk PLTU 1&2Nagan Raya,” ujar pria yang akrab disapa Adun Deri, Rabu (28/8/2024).
Dia tidak bekerja sendiri, ia mengajak dua timnya bergerak menyisir pantai untuk mengumpulkan sampah kayu tersebut. “Kami harus lebih hati-hati memilih kayu, karena masih mengandalkan mesin pencacah plastik, kayu-kayu yang keras seperti jenis kayu cemara, tidak kami ambil karena khawatir mesinnya bisa rusak,” katanya.
ternyata Deri tidak hanya mengumpulkan kayu. Bersama temannya, Abdullah, Deri punya misi mendirikan “Bang Dolah Recycle”. Bank sampah yang hadir dari kegelisahan melihat kawasan di Pantai Lam Naga yang dipenuhi sampah saban hari.
Setelah kayu yang dipilah terkumpul, mereka mengangkutnya ke dalam gerobak dan becak. Kayu itu kemudian dibawa ke tempat pencacahan untuk diproses menjadi serpihan. Jarak dari pantai tempat pengambilan kayu, ke tempat pencacahan sekitar 2,2 Km.
Deri baru mengetahui potensi biomassa pada awal 2024, saat mendengar bahwa PLTU 1 dan 2 Nagan Raya membutuhkan pasokan biomassa untuk dibakar bersama batu bara. Metode co-firing (pembakaran dua bahan bakar berbeda dalam sistem pembakaran yang sama) diklaim mampu menghasilkan energi bersih.
“Saya pikir hanya perusahaan besar yang bisa menyuplai biomassa. Ternyata kami bisa menjual langsung ke PLTU tanpa melalui vendor,” katanya.
Program co-firing biomassa ini adalah bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mendukung transisi ke energi terbarukan. Sejak 2020, program ini sudah diterapkan di beberapa PLTU di Indonesia.
“Kami dapat informasi dari tim di PLTU Nagan Raya bahwa ada kesempatan bagi masyarakat untuk menjual langsung bahan baku biomassa ke PLTU,” tambah Deriansyah.
Kayu-kayu yang sudah dipotong dari pantai dibawa ke tempat pencacahan yang berjarak sekitar 2,2 Km di Desa Meureubo. Di sana, Abdullah, yang akrab disapa Bang Dolah tampak sedang memotong kayu-kayu tersebut menjadi bagian-bagian kecil agar mudah dimasukkan ke mesin pencacah.
Sedangkan Azman, rekannya yang lain terlihat sedang mengoperasikan mesin pencacah yang terus berdengung, mengubah kayu-kayu itu menjadi serpihan kecil menggunakan mesin penggiling plastik seadanya.
“Mesin yang kami gunakan sebenarnya bukan untuk kayu, jadi belum optimal. Tapi ini yang ada, jadi kami manfaatkan,” kata Deriansyah.
Serpihan kayu kemudian dimasukkan ke dalam karung, dengan satu karung menghasilkan sekitar 30 kilogram biomassa. Untuk mencapai satu ton, mereka perlu mengumpulkan 33 karung.
Deri juga mengandalkan berbagai sumber pasokan biomassa, termasuk dari kilang padi dan pengrajin perabot di sekitarnya. Namun, ia mengakui bahwa kondisi cuaca menjadi tantangan tersendiri.
Jika musim hujan tiba, biomassa yang dipasok dalam kondisi basah akan menurunkan nilai kalori dan harga jualnya. “Cuaca sekarang tidak sahabat, jika hujan lebat, aktivitas kami terhambat,” jelasnya.
Ayah tiga anak ini tetap yakin bahwa potensi biomassa ini bisa menjadi peluang ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat di pesisir Aceh Barat.
Harga biomassa di tingkat warga adalah Rp668 per kilogram. Ini memberikan peluang ekonomi tambahan bagi warga yang selama ini hanya melihat sampah kayu sebagai limbah tak berguna.
Biomassa ini kemudian diangkut ke PLTU 1&2 Nagan Raya yang berjarak sekitar 6 kilometer dari tempat pengolahan. Di PLTU, biomassa dicampur dengan batu bara dalam proses yang dikenal sebagai co-firing untuk menghasilkan energi listrik.
Hingga saat ini, Deriansyah dan timnya telah memasok biomassa ke PLTU Nagan Raya sebanyak tiga kali, dengan total pasokan mencapai hampir 7 ton. “Setoran pertama kami mencapai 1 ton lebih, yang kedua 2,4 ton, dan yang ketiga hampir 3,5 ton,” katanya.
Jerih payah Deri dan kawan-kawannya berakhir ke penumpukan dome milik PLTU 1 & 2 Nagan Raya. Di sana, serpihan kayu milik Deri menunggu giliran untuk dibakar ke tungku pembakaran. Secara kuantitas pasokan biomassa dari Deri tidak sebanding dengan pasokan perusahaan, namun bagi mereka itu sangat berarti. Dari sana mereka mendapatkan sedikit uang tambahan.
Penerapan co-firing mendukung target pemerintah mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dengan co-firing menyumbang 12 persen.
Namun, sejak penerapan co-firing pada 2020, PLTU 1&2 Nagan Raya menghadapi kendala pasokan biomassa, khususnya cangkang sawit.
Pada 2021, PLTU menggunakan 4.786 ton cangkang sawit untuk menghasilkan 2,19 MW energi hijau, namun pasokan menurun drastis pada 2023 akibat meningkatnya ekspor.
Untuk mengatasi masalah ini, PLTU mencari alternatif biomassa lain dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pemasok melalui aplikasi Biomass Store.
Edi Purnama, Tim Leader Niaga dan Bahan Bakar PLTU Nagan Raya, menambahkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan biomassa harian sebesar 200 ton, PLTU hanya mampu mendapatkan sekitar 20-50 ton per hari.
Dengan beban 70 MW, PLTU membutuhkan total 3.800 ton bahan bakar setiap hari, namun pasokan biomassa masih jauh dari target yang diharapkan.
Meski begitu, PLTU Nagan Raya terus berusaha untuk menjaga pasokan biomassa agar tetap lancar dengan menggandeng masyarakat lokal. Kerja sama ini tidak hanya memberikan dampak positif dalam penyediaan energi terbarukan, tetapi juga memberikan peluang ekonomi bagi warga di sekitar pembangkit.
Inovasi semacam ini menjadi langkah penting dalam mewujudkan ketahanan energi yang berkelanjutan, sekaligus menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan di daerah setempat.
Bagi Deri, setiap langkah kecil dalam mendukung energi ramah lingkungan bisa memberikan dampak besar. Di tengah upaya transisi energi Aceh, ia melihat potensi biomassa sebagai alternatif energi yang berkelanjutan dan dapat diandalkan.
“Dengan potensi biomassa yang ada, Aceh bisa menjadi salah satu penyumbang energi bersih untuk masa depan. Saya berharap, sekecil apa pun upaya yang dilakukan, hal ini bisa berkontribusi dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” ujarnya.
Deri percaya, walau sederhana, kontribusi biomassa dapat membawa perubahan. Usaha seperti ini bukan hanya tentang energi; ini adalah bentuk cinta pada alam Aceh, menjaga warisan untuk generasi mendatang. (*)