Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kinerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh periode 2022-2027 mendapat sorotan dari Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka menilai bahwa KKR Aceh belum menunjukkan kinerja yang optimal dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Kata Hati Institut, MaTA, LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM, KonTras, AcSTf, dan Flower Aceh menyampaikan catatan kritis dalam konferemsi pers di Kantor LBH Banda Aceh, Senin (18/9/2023).
Menurut mereka, ada beberapa hal yang menjadi masalah dalam kinerja KKR Aceh, antara lain kebijakan kelembagaan yang belum independen, rencana kerja yang tidak jelas, pengelolaan anggaran yang tidak transparan, dan konflik internal.
Koordinator MaTA Alfian menyoroti kasus dugaan korupsi SPPD fiktif yang melibatkan 58 orang di KKR Aceh. Kasus ini telah ditindaklanjuti oleh Inspektorat Aceh dan Polresta Banda Aceh. Meskipun KKR Aceh telah mengembalikan uang kerugian negara sebesar 258,59 juta rupiah, Alfian menuntut agar proses hukum tetap dilanjutkan.
“Kasus ini menunjukkan bahwa KKR Aceh tidak memiliki integritas dan akuntabilitas. Kami mendesak DPRA komisi 1 untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KKR Aceh dan memastikan bahwa mereka bekerja sesuai dengan tujuan pembentukannya,” ujar Alfian.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Koalisi NGO HAM Khairil. Ia mengatakan bahwa KKR Aceh tidak memiliki rencana strategis untuk lima tahun ke depan. Ia juga mengkritik konflik internal di lembaga itu yang mengganggu kinerja mereka.
“KKR Aceh seharusnya melakukan pendataan terhadap korban konflik, tetapi di internal sendiri belum selesai. Oleh sebab itu, DPR harus serius mengevaluasi KKR Aceh. Belum ada perkembangan apapun dalam rangka pemulihan korban,” kata Khairil.
Perwakilan Kontras Aceh Fuadi Mardhatillah juga menyesalkan bahwa KKR Aceh belum merilis laporan temuan mereka tentang kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh. Padahal, laporan tersebut sangat penting untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan kepada korban.
“Kami mempertanyakan komitmen KKR Aceh dalam mengungkap kebenaran. Sampai sekarang laporan itu belum kunjung dirilis. Artinya kami mempertanyakan kredibilitas dan kewenangan KKR Aceh,” ucap Fuadi.
Sementara itu, Kepala Program LBH Banda Aceh Aulianda Wafisa mengingatkan bahwa kasus SPPD fiktif merupakan bagian dari proses hukum yang harus dijalankan secara terbuka dan tuntas. Ia berharap agar aparat penegak hukum tidak tebang pilih dalam menangani kasus tersebut.
Sekretaris Eksekutif AcSTF Firdaus Mirza menambahkan bahwa kinerja KKR Aceh sangat mengecewakan masyarakat Aceh terutama korban konflik. Ia menilai bahwa KKR Aceh telah menyia-nyiakan harapan dan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.
Direktur Kata Hati Institut Raihal Fajri juga meminta agar DPRA komisi 1 merekrut komisioner baru yang memiliki nilai dan integritas yang baik.
“Komisioner baru harus bisa bekerja sesuai dengan mandat dan harapan masyarakat. Mereka harus bisa mengungkap kebenaran, memberikan pemulihan, dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa depan,” ujar Raihal.
Perwakilan Flower Aceh Gaby juga menekankan pentingnya penguatan kelembagaan KKR Aceh. Ia berharap agar KKR Aceh bisa bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel.
“KKR Aceh harus memiliki rencana kerja yang jelas. Kami menginginkan KKR Aceh yang bisa memberikan kontribusi positif bagi perdamaian dan kesejahteraan masyarakat Aceh,” kata Gaby. (*)