Selasa, September 17, 2024
BerandaLaporan KhususSampah Kayu Pantai Disulap Jadi Bahan Baku Biomassa untuk Co-Firing di PLTU 

Sampah Kayu Pantai Disulap Jadi Bahan Baku Biomassa untuk Co-Firing di PLTU 

“Kami melihat peluang, daripada kayu-kayu ini mengotori pantai, lebih baik kita ambil dan jadikan biomassa untuk PLTU Nagan Raya”

Pemandangan pantai Lam Naga, Desa Peunaga Rayeuk, Aceh Barat, seringkali dipenuhi sampah yang terbawa arus laut. Selain botol plastik, batang-batang kayu juga banyak terdampar di sepanjang pesisir setelah hujan.

Namun, di balik tumpukan sampah itu, ada potensi yang dimanfaatkan Deriansyah (45) dan rekannya, warga Meureubo, Aceh Barat. Sampah kayu itu dimanfaatkan  untuk menghasilkan energi listrik bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1-2 Nagan Raya.

Pada Rabu (28/8/2024) siang, Deriansyah bersama temannya mulai menyisir pantai, mengumpulkan kayu-kayu yang terdampar. Dengan gergaji mesin, mereka memotong kayu berdiameter sekitar 25 Cm dan panjang hingga dua meter menjadi potongan-potongan kecil. Suara gergaji bersahut-sahutan dengan deburan ombak.

“Saya tinggal di Meureubo, dan sepanjang pinggir pantai ini banyak sekali sampah kayu yang didorong ke darat. Kami melihat peluang, daripada kayu-kayu ini mengotori pantai, lebih baik kita ambil dan jadikan biomassa untuk PLTU Nagan Raya,” kata Deriansyah.

Deri menjelaskan sebelumnya, ia bersama temannya, Abdullah, mendirikan “Bang Dolah Recycle,” bank sampah yang lahir dari kegelisahan melihat kawasan Pantai Lam Naga yang setiap hari penuh sampah.

Kayu gelondongan berasal dari pantai diangkut dengan becak ke tempat pengolahan serpihan kayu di Desa Meurebo, Aceh Barat. (Foto/Cut Nauval d).

Untuk menjaga lingkungan dan kebersihan pantai, mereka memilah sampah yang dapat didaur ulang. Sampah plastik ditampung ke Bang Dolah Recycle, sementara kayu diolah menjadi serpihan untuk biomassa.

“Dulu, kayu-kayu ini mungkin hanya digunakan sebagai bahan bakar api unggun oleh para nelayan,” lanjutnya.

Kayu-kayu yang sudah dipotong dari pantai dibawa ke tempat pencacahan yang berjarak sekitar 2,2 Km di Desa Meureubo. Di sana, Abdullah, yang akrab disapa Bang Dolah tampak sedang memotong kayu-kayu tersebut menjadi bagian-bagian kecil agar mudah dimasukkan ke mesin pencacah.

Sedangkan Azman terlihat sedang mengoperasikan mesin pencacah yang terus berdengung, mengubah kayu-kayu itu menjadi serpihan kecil menggunakan mesin penggiling plastik seadanya.

“Mesin yang kami gunakan sebenarnya bukan untuk kayu, jadi belum optimal. Tapi ini yang ada, jadi kami manfaatkan,” kata Deriansyah.

Serpihan kayu kemudian dimasukkan ke dalam karung, dengan satu karung menghasilkan sekitar 30 kilogram biomassa. Untuk mencapai satu ton, mereka perlu mengumpulkan 33 karung.

Biomassa ini kemudian diangkut ke PLTU 1&2 Nagan Raya yang berjarak sekitar 6 kilometer dari tempat pengolahan. Di PLTU, biomassa dicampur dengan batu bara dalam proses yang dikenal sebagai co-firing untuk menghasilkan energi listrik.

Deriansyah baru mengetahui potensi biomassa ini pada awal 2024. “Awalnya saya pikir hanya perusahaan besar yang bisa menyuplai biomassa. Ternyata kami bisa menjual langsung ke PLTU tanpa melalui vendor,” katanya.

Program co-firing biomassa ini adalah bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mendukung transisi ke energi terbarukan. Sejak 2020, program ini sudah diterapkan di beberapa PLTU di Indonesia.

“Kami dapat informasi dari teman di PLTU Nagan Raya bahwa ada kesempatan bagi masyarakat untuk menjual langsung bahan baku biomassa ke PLTU,” tambah Deriansyah.

Hingga saat ini, Deriansyah dan timnya telah memasok biomassa ke PLTU Nagan Raya sebanyak tiga kali, dengan total pasokan mencapai hampir 7 ton. “Setoran pertama kami mencapai 1 ton lebih, yang kedua 2,4 ton, dan yang ketiga hampir 3,5 ton,” katanya.

Harga biomassa di tingkat warga adalah Rp668 per kilogram. Ini memberikan peluang ekonomi tambahan bagi warga yang selama ini hanya melihat sampah kayu sebagai limbah tak berguna.

“Dengan adanya program co-firing biomassa, pengrajin mebel kecil juga mendapat peluang untuk meningkatkan pendapatan mereka. Kami juga menampung sekam padi, sawdas dan woodchip dari beberapa kilang kayu maupun kilang padi di sekitar sini,” lanjut Deriansyah.

Bagi Deri dalam memasok biomassa ini, faktor cuaca menjadi tantangan utama. “Kalau hujan lebat, kami khawatir kalau biomassa yang kami bawa ini basah, karena mereka akan cek kalorinya,” ujarnya.

Menurutnya, bisnis biomassa ini masih dalam tahap awal dan belum memberikan keuntungan yang signifikan. “Prosesnya memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Kami seperti sedang ‘membakar uang’. Ini investasi, tapi apakah sudah ekonomis? Belum, karena hingga kini kami belum tahu berapa penghasilan yang diterima teman-teman,” katanya.

Meski demikian, ayah tiga anak ini tetap yakin bahwa potensi biomassa ini bisa menjadi peluang ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat di pesisir Aceh Barat.

Deri juga mengaku pekerjaan memilah sampah sering kali dianggap buruk dan didiskriminasi,. Padahal ini adalah pekerjaan yang sama pentingnya dengan lainnya. Ia ingin meningkatkan citra profesi di bidang pengelolaan sampah, agar lebih dihargai dan tidak dipandang rendah oleh masyarakat.

Ia juga mengajak teman-temannya untuk bergabung dalam upaya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER