Pemerintah Aceh meminta dukungan semua pihak dalam upaya mengurangi angka stunting. Pasalnya, Aceh saat ini menjadi wilayah dengan jumlah anak penderita stunting tertinggi di Indonesia.
Sementara untuk menyambut bonus demografi di tahun 2025 mendatang, butuh langkah serius untuk mengatasi persoalan itu, kata Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, di Lapangan Blang Padang, Minggu (3/3/2019).
Mengutip data dari Unicef, Plt Gubernur Aceh mengatakan, bahwa prevalensi stunting di Aceh mencapai 37,9 persen. Jumlah ini menempatkan Aceh di posisi ketiga tertinggi sebagai provinsi dengan jumlah anak penderita stunting.
“Meski kita masih terus mengumpulkan data untuk memastikan apakah benar angkanya sebesar itu, namun langkah-langkah untuk menekan angka stunting juga harus segera kita lakukan,” kata Nova Iriansyah dalam sambutannya di acara Deklarasi Gerakan Geunting (gerakan pencegahan dan penanganan stunting) tersebut.
Berita Terkait: Dyah Erti Idawati: Dari 10 Kelahiran di Aceh, 4 Bayi Nyaris Alami Stunting
Nova mengimbau para bupati dan wali kota untuk segera melakukan aksi-aksi nyata di lapangan agar dua tahun mendatang angka stunting di Aceh dapat turun. “Target minimalnya tentu di bawah rata-rata nasional,” ujarnya.
Plt Gubernur telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 14 tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting Terintegrasi di Aceh. Pergub hadir sebagai landasan untuk menggalang komitmen para pihak untuk mengakomodir kebutuhan pelayanan bagi setiap anak di daerah ini.
“Pelayanan yang dimaksud bersifat komprehensif, mulai dari masalah kesehatan, sosialisasi, peningkatan gizi, pemantauan, evaluasi dan sebagainya. Intinya, pemerintah dan semua pihak harus meningkatkan perhatian bagi tumbuh kembang anak di Bumi Serambi Mekah ini,” ujar Nova.
Galakkan Kampanye Sadar Gizi
Wakil Ketua TP PKK Aceh, Dyah Erti Idawati dalam kesempatan itu menyebutkan penyebab utama stunting ini adalah kurangnya perhatian bagi tumbuh kembang anak, terutama asupan gizi. Hal ini mengakibatkan tubuh si anak menjadi pendek dan daya tahannya tidak terlalu kuat.
“Faktor ini akan sangat mempengaruhi perkembangan fisik dan kemampuan sang anak saat usia dewasa,” kata Dyah Erti.
Dia juga mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan Aceh masuk dalam daerah dengan prevalensi gizi buruk cukup tinggi di Indonesia. Fator itu antara lain, minimnya kesadaran keluarga dalam menjaga kesehatan, kurangnya memahami pentingnya ASI bagi bayi, dan rendahnya kepedulian pada makanan suplemen bagi anak.
“Melihat situasi ini, tidak ada pilihan lain, kampanye sadar gizi perlu kita tingkatkan agar masyarakat tahu betapa buruknya ancaman akibat kekurangan gizi. Kampanye sadar gizi harus kita perkuat lagi dengan Gerakan Pencegahan dan Penanganan Stunting Terintegrasi di Aceh,” ujar Dyah Erti.
Dalam deklarasi tersebut, turut hadir Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah Kementerian Dalam Negeri, Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, perwakilan dari Kantor Staf Kepresidenan RI, para bupati dan wali kota. Selain itu, sejumlah elemen masyarakat, akademisi, pegiat medis, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, LSM dan lembaga non pemerintah juga ikut meramaikan acara ini.
Tujuh poin isi deklarasi Gerakan Pencegahan dan Penanganan Stunting yang dibacakan oleh Plt Gubernur bersama para bupati dan wali kota.
1. Membuat regulasi untuk pelaksanaan gerakan pencegahan dan penanganan stunting,
2. Menggalang komitmen semua sektor dan seluruh lapisan masyarakat,
3. Menggerakkan tokoh masyarakat, ulama. Akademisi, aktivis, dunia usaha dan organisasi masyarakat, untuk mendukung pencegahan stunting,
4. Menggalakkan seluruh masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat,
5. Memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil dan balita,
6. Memastikan setiap bayi mendapatkan ASI eksklusif, dan ASI lanjutan hingga berusia 2 tahun,
7. Memantau tumbuh kembang anak dan pemberian imunisasi dasar lengkap.
(Adv)